
Aku mengenal Hasbi sudah sejak kecil. Kami berdua adalah teman sepermainan sewaktu kecil. Baik aku maupun Hasbi sama-sama gemar main sepak bola. Apalagi ketika hujan turun dengan lebatnya. Kami malah tambah semangat bermain, meskipun nantinya kami akan kena marah ibu masing-masing karena noda Lumpur di baju yang tidak bisa hilang.
Kami berdua sama-sama anak sulung dalam keluarga kami masing-masing. Ibuku dan ibunya Hasbi juga bersahabat sejak kecil. Mereka berdua menikah dalam bulan yang bersamaan, ibuku menikah lebih cepat sepuluh hari dari ibunya Hasbi. Kata ibuku, Hasbi lahir satu hari setelah aku. Bidan dan dukun bayi yang mengurus kami berdua waktu kecil pun sama.
Kedua leluhur kami adalah penduduk asli di sini. Jalinan kekeluargaan kami sudah menjadi warisan turun temurun. Bahkan pamanku menikahi bibinya yang menjadi kembang di kampung kami. Aku sangat senang kalau main ke rumah bibinya dan bisa mencium tangan bibinya yang lembut dan harum itu. Kadang dia pun memberi aku sebuah kecupan di kening setelah aku mencium tangannya.
Dalam hal pendidikan kami pun punya banyak kesamaan. Kami berdua sama-sama ngaji Qur’an di rumah Ustadz Hilmi. Bedanya aku sedikit lebih rajin dari Hasbi. Masih terngiang dalam kepalaku bagaimana Ustadz Hilmi mengajari alif ba ta kepada kami berdua. Karena aku lebih rajin dari Hasbi, sehingga aku khatam lebih dulu dari Hasbi.
Ibuku dan ibunya Hasbi menginginkan kami tumbuh besar bersama seperti halnya mereka. Sejak kecil kami pun disekolahkan di tempat yang sama. Baru setelah lulus SMP aku dan Hasbi menjalani kehidupan masing-masing. Aku pergi nyantri ke sebuah pesantren di Jawa Timur dan Hasbi pergi entah kemana. Aku tidak tahu kemana perginya Hasbi, sebab aku lebih dulu pergi ke pesantren dan hanya menitipkan alamat pesantrenku padanya. Barangkali dia ingin berkunjung atau berkirim
Jalannya denyut waktu memang tak pernah bisa kita rasakan. Bumi terus berjalan mengitari matahari. Siang dan malam selalu bergantian selimut. Rasanya baru kemarin aku kemarin aku berhasil merebut bola dari kaki Hasbi dan melesakkannya ke gawang team Hasbi. Aku berlarian mengitari setengah lapangan dan diikuti teman-teman satu team yang beramai-ramai memelukku. Sementara Hasbi bersungut-sungut dan mengumpatiku. Ya, aku masih ingat betul sifatnya waktu kecil dulu, ambisius untuk menjadi yang terhebat. Hasbi akan sangat tidak senang kalau ada seseorang yang lebih hebat darinya. Ha… ha… ha… rasanya senang sekali bernostalgia tentang masa kecil antara aku dan Hasbi.
Kini aku dan Hasbi sudah membina keluarga masing-masing. Aku menikahi adik perempuannya Hasbi, sedang Hasbi menikahi gadis Sunda. Kami berdua sudah diberi amanat oleh Allah berupa anak. Hasbi tiga dan aku dua. Anak terakhir kami sama-sama laki-laki. Sedang kakaknya perempuan semua. Kedua anak laki-laki kami, kami kirim ke pesantren tempat aku menimba ilmu dulu. Harapan kami agar kedua anak kami dapat menjadi penerang bagi masyarakat di sekitar mereka nantinya.
Harus aku akui, peranan Hasbi dalam masyarakat sekarang ini memang lebih menonjol dari aku. Namanya pun lebih populer. Aku hanya menjadi guru ngaji biasa, meski kadang-kadang ada juga yang meminta aku untuk mengisi pengajian hingga ke luar
Aku sendiri sudah melihat kehebatannya dengan mata kepalaku sendiri. Waktu itu ada seorang anak di kampung kami yang hanyut terbawa arus sungai. Waktu itu benar-benar tak ada yang bisa menyelamatkan anak yang sudah dicengkeram arus yang begitu kuatnya itu. Kebetulan Hasbi lewat dekat sungai itu. Ketika dia mendengar teriakan anak itu dan melihatnya, secepat kilat dia langsung berlari di atas permukaan air menyelamatkan nyawa anak itu. Benar-benar berlari seperti di atas permukaan tanah saja!
Kejadian kedua yang aku lihat adalah ketika ada sebuah rumah kebakaran. Rumah itu dihuni oleh empat orang. Ketiga orang penghuninya sudah diselamatkan warga dari jilatan si jago merah. Tinggal satu orang, istri pemilik rumah, yang masih berada di dalam rumah tersebut. Dia terjebak api dan bangunan yang mulai runtuh. Hasbi yang sudah mendengar kejadian itu, datang ke tempat tersebut dan langsung menengadahkan kedua tangannya ke atas tinggi-tinggi, seperti orang berdoa. Ajaib, seketika turun hujan lebat yang langsung memadamkan api. Setelah api padam, Hasbi masuk ke dalam sisa-sisa bangunan dan mengeluarkan istri pemilik rumah. Namun
Siang itu, setelah selesai melaksanakan salat Dhuhur, aku dikejutkan suara salam dari arah pintu rumahku. Suara yang sudah lama kukenal. Suara Hasbi, ‘Sang Wali’. Segera kujawab salamnya dan kubukakan pintu untuknya. Hasbi, sosok yang diagung-agungkan oleh masyarakat kini berada di muka pintu rumahku. Aku mendekap dan memandangnya dengan penuh hormat. Dulu dia sahabat masa kecilku, sekarang dia menjadi orang yang paling kusegani di kampung ini. Tinggi badannya kira-kira hanya dua senti lebih tinggi dari aku. Rambutnya masih lebih hitam dan sedikit lebih lebat. Wajahnya masih menyimpan raut tampan sisa-sisa masa remajanya. Hanya saja sekarang dihiasi kumis dan jenggot yang membuatnya lebih berwibawa. Namun karena kelebihan yang dimilikinya itulah aku menjadi sungkan.
Selesai mendekapnya, kupersilahkan dia masuk ke dalam rumahku.
“Alhamdulillah, gubuk kami disinggahi orang mulia seperti Mas,” sambutku padanya.
“Ah tidak usah begitu Mas Khoiri, saya dan sampeyan ini
“Silahkan duduk, Mas,” ujarku pada Hasbi. Kemudian aku duduk setelah Hasbi duduk. Kutawarkan rokok kretek padanya, tapi katanya dia sudah berhenti merokok sejak usianya menginjak kepala empat.
“Mau minum apa, Mas?”
“Ah, tidak usah. Saya hanya mampir sebentar saja.
Hasbi terdiam sebentar. Ditatapnya mataku, mencari kepercayaan dan kesediaan dari dalam diriku.
“Begini Mas Khoiri, aku ingin menitipkan wasiat kepadamu,” kata Hasbi. Ucapan Hasbi barusan cukup mengagetkanku. Apa maksud Hasbi itu? Bukankah wasiat berarti wasiat yang harus dilakukan setelah orang yang memberi wasiat itu mati? Lagi pula wasiat biasanya disampaikan kepada anggota keluarga yang terdekat. Aku ini apanya Hasbi? Hanya sebatas teman masa kecilnya saja. Setelah dewasa dan menjadi saudara iparnya pun kami tidak cukup akrab. Dan bukankah Hasbi baru menginjak usia yang, kalau tidak salah, ke empat puluh sembilan? Tubuhnya pun masih segar bugar, sehat wal ‘afiat, tanpa kurang suatu apapun. Mengapa dia berujar demikian?
Aku menunggu perkataan selanjutnya dari Hasbi. Hasbi terdiam sebentar. Ditengokkannya kepalanya ke segala penjuru arah. Seperti meyakinkan kalau tidak ada orang lain lagi di ruangan ini. Yang akan diutarakannya kelihatannya hal yang sangat penting. Hasbi membungkuk dan mendekatkan kepalanya padaku. “
“Apa itu, Mas?”
“Nanti kau akan tahu sendiri. Setelah aku meninggal nanti, tolong sampeyan buka karpet besar yang menutupi dinding ruangan tamu rumahku.”
“Kenapa?,” tanyaku masih belum mengerti.
“Itu juga nanti kau akan mengetahuinya. Sebab aku merasa bahwa kontrak hidupku di dunia sudah hampir selesai. Tolong hanya sampeyan dan kedua anak kita yang nyantri yang boleh membukanya.”
Aku mengangguk iya, namun masih belum mengerti omongan Hasbi.
“Mas, ada berita lelayu,” istriku datang menghampiriku dari luar rumah dengan kepala tertunduk dan mata yang berkaca-kaca. Aku menghentikan aktifitas siangku membaca koran pagi yang selalu datang hampir tengah hari dan memberikan perhatian pada istriku.
“Siapa, Bu?”
“Kakakku Hasbi, Mas. Barusan dia meninggal dunia.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Aku hampir tidak percaya dengan yang dikatakan istriku. Bukankah baru kemarin Hasbi singgah di rumahku? Betul, kemarin. Satu hari yang lalu. Keadaannya pun sangat baik. Dan perkataannya yang kemarin itu? Apakah itu firasat yang biasa timbul pada orang yang hampir mendekati kematian? Ataukah ia memang telah diberitahu Tuhan sebelumnya, bahwa ia akan meninggal hari ini? Ah… segalanya mungkin saja terjadi. Bukankah itu juga wewenang Allah. Ingin rasanya kutanya istriku sebab meninggalnya Hasbi, tapi kurasa itu tidak penting saat ini. Menenangkan istriku saat ini adalah hal yang lebih penting. “Sabar ya, Bu? Kita berdoa semoga kakakmu diterima di sisi-Nya.” Aku berdiri dan merangkul istriku. Tangisnya meledak di pelukanku. Didekapnya erat-erat tubuhku. Basah bajuku dibuatnya.
Setelah tangisnya agak reda, aku mengajaknya ke rumah Hasbi.
“Ayo Bu, kita segera mengurus jenazahnya.”
“Tidak perlu, Pak.”
“Lho kenapa?,” aku bertanya dengan penuh keheranan atas jawaban istriku tadi.
Lalu istriku menceritakan ihwal jenazah Hasbi. Katanya, setelah meninggal, jasadnya yang belum dimandikan, dikafani, serta di-shalat-kan itu melayang sendiri ke arah pemakaman umum belakang gedung Puskesmas. Banyak warga yang mengikuti jenazah terbang itu dari rumah Hasbi sampai ke pemakaman. Sesampainya di
Setelah istriku bercerita, aku teringat wasiat yang Hasbi sampaikan kemarin. Aku segera pergi ke rumah Hasbi bersama istriku. Sesampainya di
“Kenapa kau pulang tidak memberitahu ayahmu, nak?,” tanyaku pada anakku.
“Maaf Abah, ananda mendadak pulang karena mengantar Hisyam yang diberi kabar bahwa Pak De Hasbi mungkin akan meninggal dunia,” jawab anakku sembari menjelaskan bahwa dia pun tak sempat menelepon karena ada gangguan telepon di daerah pesantrennya.
Setelah anakku bicara, aku menyampaikan rasa belasungkawa dan wasiat yang aku terima dari Hasbi kepada istri, anak perempuan Hasbi, dan anak laki-laki Hasbi, Hisyam. Dan Hisyam pun langsung melaksanakan wasiat itu. Bersama aku dan anakku, Hisyam melepas paku-paku yang mengaitkan karpet ke tembok.
Karpet merah besar bergambar Ka’bah yang dikelilingi kaligrafi dengan khot Khoufi dan ornament ala Timur Tengah yang menutupi sebagian dinding ruang tamu itu sudah terlepas. Kami bertiga sekarang memandang pada satu titik yang sama. Sebuah pintu kayu yang sudah agak lapuk tanpa cat dan tertutup debu tebal. Hisyam pun terlihat sedikit tertegun. Aku rasa dia belum pernah mengetahui keberadaan pintu itu. Dengan penuh tanda tanya dalam kepalanya, Hisyam pelan-pelan membuka pintu itu. Deritnya menandakan bahwa pintu itu sudah lama sekali tidak pernah dibuka. Mungkin belasan atau puluhan tahun.
Kami bertiga masuk ke dalam lorong pendek yang ada di balik pintu. Lorong yang gelap dan sengap. Di ujung lorong itu terdapat pintu kayu yang serupa dengan pintu sebelumnya. Kami bertiga saling berpandangan. Tanpa banyak berkata, Hisyam membuka lagi pintu kedua itu.
Astaghfirullah… kami bertiga sangat kaget dengan apa yang kami lihat. Hisyam langsung jatuh pingsan. Dia tak bisa menerima apa yang dilihatnya sekarang ini. Di balik pintu kedua ternyata ada toilet. Di dalam toilet terdapat kitab suci Al-Qur’an! Kitab suci orang Islam yang seharusnya ditempatkan di tempat yang mulia itu diletakkan dalam toilet dimana asma Allah dan Nabi-Nya saja tak boleh masuk ke dalamnya.
Apa yang kau pelajari dulu sewaktu aku nyantri, Hasbi? Bukankah ini cukup jelas untuk membuktikan bahwa kesaktian dan kewalianmu itu hanyalah omong belaka? Lalu siapa yang membantumu dan menguburkanmu kemudian? Apakah ternyata Hasbi, ‘Sang Wali’ itu, tak lebih dari sekedar pengikut setan?
No comments:
Post a Comment
Anda tidak suka atau tidak setuju dengan posting di atas? Atau barangkali anda tahu lebih baik dari saya. Silahkan isi komentar di bawah ini.