
Sudah hampir empat tahun ini saya mengalami stagnansi dalam berkarya. Boleh dibilang dalam kurun empat waktu itu saya sedang hibernasi. Agak sedikit sulit untuk memulai lagi, terutama kemampuan analisis dan daya kritis yang sudah agak tumpul, tergantikan dengan sekumpulan sintaks-sintaks bahasa pemrograman komputer yang saya pelajari. Ya, saya sekarang hampir menyelesaikan pendidikan saya di S1 Tehnik Informatika. Mungkin saya ini salah satu ‘generalis’ produk pendidikan
Keinginan untuk menulis dan berkarya lagi sebenarnya sudah muncul setengah tahun yang lalu. Waktu itu, teman-teman alumni PP Krapyak dari COST53 menginginkan sebuah wadah kreatifitas dan komunikasi. Saya usulkan sebuah portal web. Saya sempat pesan jasa hosting dan beli domain, rencananya akan dilaunching dalam suatu event besar bernama “Pekan Raya Pesantren 2006”. Tapi apa boleh buat, bencana alam gempa bumi melanda
Singkat cerita, tiba-tiba saja saya merasa ingin menulis blog ini karena melihat teman-teman saya yang sudah pada rajin nge-blog sendiri-sendiri. Saya pun merasa iri, yah… sebagian dari diri saya juga merasa tersaingi, he…. Terus saya menjadi bingung sendiri lagi, kira-kira kalau saya nge-blog akan nulis apa? Tutorial komputer? Essay? Puisi? Artikel? Karya Tulis? Atau malah skripsi? He… Nggak tahu deh, tapi kayaknya dicampur-campur biasanya malah jadi enak, kayak minuman kesukaan saya: milk shake atawa soda gembira. Wekekeke…
Ok. Bismillahirrahmanirrahim… Kayaknya hal yang pertama ingin saya tulis mungkin cerita tentang ayah saya sendiri. Nggak tahu juga, tiba-tiba hal yang melintas pertama kali di pikiran saya adalah ayah saya. Saya biasa bercerita dengan teman yang lagi butuh pandangan, saran, dsj (ngerti? dsj à dan sejenisnya) tentang kisah ayah saya. Terutama bagian semangat entrepreneurship dan dimensi kehidupan beliau –yang menurut saya cukup seimbang antara duniawi dan ukhrawi. Terus terang, bagi saya beliau adalah pribadi yang mengesankan, meskipun kadang kami sering berselisih, karena beberapa perbedaan. Namun, sebagai seorang anak, saya sangat bersyukur mempunyai ayah seperti beliau. Versi cerita ini mungkin agak sedikit bias, namun saya sudah berusaha sebisa mungkin mendengarkan berbagai cerita dari berbagai pihak tentang ayah saya sendiri.
Tak kenal, maka tak bisa dipanggil… Nama ayah saya Soleh Basuki Siswoyo. Siswoyo sendiri merupakan nama Simbah saya. Ayah saya lahir tahun 1960 di sebuah desa di Kabupaten Brebes, tepatnya bernama Jatibarang (bukan yang di Indramayu). Beliau anak laki-laki kedua dari 11 bersaudara. Simbah saya waktu itu merupakan salah satu pegawai di pabrik gula (PG Jatibarang). Sejak kecil, ayah memang sedikit berbeda dari yang lain, terutama sifat rajin dan suka mengajinya. Mulai dari bangun tidur, selesai shalat subuh dan ngaji, beliau sudah langsung bersih-bersih rumah dan memberi makan hewan-hewan piaraan. Kemudiaan baru berangkat ke madrasah. Pilihan sekolah-nya pun beda dengan dengan saudara/i ayah yang lain, yang lebih memilih ke sekolah umum. Namun, meskipun di madrasah, toh akhirnya beliau mampu bersaing dan berprestasi di STM Pembangunan
Lulus STM beliau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, sempat daftar-daftar kerja, namun mungkin kurang ‘sreg’ dan akhirnya memutuskan back to home. Di kampung halaman beliau mulai merintis usaha bengkel & cuci mobil. Bengkelnya dibuka di depan halaman rumah simbah saya. Menurut beliau, bengkelnya adalah yang pertama di
Singkat cerita, tahun 1985, ayah menikahi ibu saya, yang baru saja bertemu waktu pulang dari pengajian di masjid kampung dan langsung dilamar keesokannya setelah konsultasi dengan kyai dan disuruh untuk membuka Al-Qur’an dan jika mendapatkan surat yang baik (yang berisi berita gembira), maka ayah boleh menikahi ibu, jika tidak maka mungkin bukan jodoh yang baik. Alhamdulillah ayah dapat
Prinsipnya iu juga diuji lagi setelah beliau menikah. Ayah dipanggil oleh simbah. Simbah membuat keputusan yang agak sulit diterima. Usaha bengkel yang telah dirintis ayah harus diserahkan kepada kakaknya (pakde saya), dan ayah menggantikan pekerjaan pakde di Pabrik Gula dengan penghasilan Rp 25.000/bulan. Jumlah yang sangat berbeda dengan pendapatan per hari dari bengkel sekalipun. Tapi, lagi-lagi ayah membuat keputusan yang sampai sekarang masih tidak bisa diterima akal saya. Beliau menerima perintah simbah.
Hasilnya sudah bisa diduga, ekonomi keluarga ayah saya pun mulai jatuh. Sampai-sampai di hari raya lebaran tahun berikutnya, ayah harus ngutang sama simbah. Sampai suatu saat, ada kasus kebakaran di pabrik gula. Banyak wartawan yang berdatangan mencari informasi. Bukannya atasan ayah saya yang dicari sebagai yang berwenang, tapi malah ayah saya sendiri yang dicari. Mungkin karena posisi beliau waktu itu, yang menjadi tokoh pemuda dan pengurus masjid di kampung.
Merasa tidak enak dengan atasan dan rekan kerja, ayah saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Ayah saya menjadi seorang pengangguran. Hingga suatu hari, ketika ayah sedang jalan-jalan ke tambak, beliau melihat ada orang yang kesusahan dengan genset (generator set). Beliau menghampiri orang tersebut dan menawarkan bantuan. Tanpa kesusahan, ayah berhasil membetulkan genset tadi. Orang yang ditolong pun mengulurkan sejumlah uang ke ayah saya. Namun, biarpun dalam kondisi kere, ayah saya tetap menolak uang itu dan mengatakan bahwa yang ayah saya janjikan adalah hanya memberikan pertolongan dan tidak meminta imbalan. Merasa tidak enak hati, orang tadi pun minta alamat ayah saya.
Keesokan harinya orang itu pun datang dan mengenalkan diri. Namanya Pak Petrus (cerita hidupnya pun banyak yang patut ditiru, mungkin kalau anda bertemu saya langsung akan saya ceritakan). Beliau seorang warga keturunan Cina yang tinggal di Kota Tegal dan mempunyai beberapa bidang usaha. Dari perbincangan hari itu, ayah saya pun mendapat pekerjaan baru. Dari asuransi, tambak, hingga menjadi tangan kanan Pak Petrus dan dipercaya menjalankan dealer motor. Diantara masa-masa itu juga, sebenarnya ada pelajaran yang bisa banyak kita ambil. Salah satunya adalah ketika beliau konsultasi lagi dengan seorang ustadz, bagaimana agar cobaan bisa berkurang dan kembali memperoleh kejayaan. Ustadz tersebut menyarankan agar ayah saya itba’ kepada hijrah Nabi Muhammad SAW. Maka kami sekeluarga pun pindah ke luar
Kondisi warga di lingkungan tempat tinggal kami yang baru memang cukup bersahabat, namun ayah saya menemukan kenyataan ironis dengan musholla dekat tempat tinggal kami. Mau dibilang terurus, namun imam sholat rawatib pun masih belum tetap. Ayah yang sudah terbiasa rutin shalat di masjid pun perlahan masuk menjadi bagian dari mushalla tersebut. Alhamdulillah sampai hari ini, saya menyaksikan bahwa musholla tersebut merupakan salah satu musholla terbaik dari sisi kegiatan dan kekeluargaan antar jamaah yang pernah saya lihat.
Ketika ekonomi keluarga berangsur pulih dan kehidupan kami membaik. Cobaan pun datang lagi. Usaha Pak Petrus collapse. Berhektar-hektar tambak yang dia beli, yang diperkirakan akan menghasilkan berton-ton hasil tambak, ternyata gagal. Seluruh kekayaan yang dimiliki Pak Petrus pun digunakan untuk menutup kerugian tersebut. Sekitar sembilan mobil truk, sejumlah kendaraan pribadi, hingga rumah yang dia tinggali pun dilepas. Sampai-samapai rumahnya itu harus dia sewa untuk dia huni lagi. Dan ayah saya pun mau tidak mau terkena imbasnya.
Alhamdulillah, keadaan ini pun tidak berlangsung lama. Ketika dalam sebuah perjalanan ke rumah simbah, ada seseorang yang mengalami kesusahan dengan motor vespanya. Ayah saya pun menolong memperbaiki motor tersebut. Setelah berhasil diperbaiki, orang tersebut mengenalkan diri sebagai Pak Tomo dan menawarkan untuk singgah ke rumahnya. Pak Tomo waktu itu seorang pegawai di Pemda Kabupaten Brebes. Dari situlah ayah mendapat kesempatan untuk mencari rizqi lagi.
Kalau tidak salah, pekerjaan pertamanya adalah membetulkan sound system di lingkungan kantor Pemda. Tahun demi tahun berlalu, usaha ayah pun mulai maju lagi. Sekitar tahun 1998, saat resesi/krisis moneter menimpa
Tidak hentinya saya mengucap syukur alhamdulillah, sampai tahun 2007 ini keluarga kami diberi berbagai kemudahan, terutama dalam rizqi. Hal-hal lain yang bisa diambil hikmahnya dari ayah adalah sikap istiqomahnya dalam beribadah. Ayah saya selalu menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah antara maghrib sampai isya’. Bahkan akan menolak seluruh transaksi bisnis yang masuk waktu tersebut. Karena ayah saya yakin bahwa waktu tersebut merupakan waktu yang sangat berharga dan mustajab.
Entah anda percaya atau tidak, tapi saya percaya bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, pengusaha, atau profesi terhormat apapun, mesti harus diimbangi dengan dimensi spiritual atau sebuah keyakinan yang pasti. Saya tidak bisa menceritakan terlalu panjang dan memberikan ulasan yang banyak dalam kisah yang serba disingkat ini. Tapi semoga bisa diambil pelajaran dari apa yang saya tulis disini.
No comments:
Post a Comment
Anda tidak suka atau tidak setuju dengan posting di atas? Atau barangkali anda tahu lebih baik dari saya. Silahkan isi komentar di bawah ini.