
Tulisan ini saya buat empat tahun yang lalu dan memenangkan Lomba Penulisan Essay tingkat SLTA se-Jawa & Bali dalam rangka Hari Pers Nasional tahun 2003. Baru-baru ini saya mendengar dari teman saya, Irfan, bahwa ada yang nulis mirip dengan tulisan ini. Tapi, lanjut dia, tulisan itu baru di publish. Yang jelas, dulu saya terinspirasi dari film The Antz, dan bukunya Harun Yahya. Trus lanjut cari berbagai artikel dan lahirlah tulisan ini. Ini tulisan kedua saya yang saya kirim ke luar dan langsung jadi juara 3. Yang pertama berjudul Bebek, Gurem, dan Supernova juga menang di tingkat nasional.
Jadilah “Bangsa Semut”!
Di masa ini, setidaknya kita harus mau mengakui bahwa salah satu penyebab utama krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini adalah adanya sikap individual dari tiap-tiap komponen bangsa. Di setiap tingkatan sosial, baik itu rakyat jelata, buruh, pengusaha, sampai pejabat tinggi pemerintahan selalu ditemukan sikap individual yang membuat keutuhan Bangsa
Mungkin kita sudah lupa tentang petuah orang tua-orang tua kita tentang sebatang lidi yang mudah dipatahkan, tapi akan menjadi kuat apabila beberapa lidi disatukan. Nasihat orang tua kita itu merupakan gambaran condition sin quanon (keharusan) untuk bersatu agar menjadi bangsa yang kuat. Dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa persatuan telah hadir menjadi pilihan yang pertama dan utama untuk mengatasi berbagai kemelut yang ada dalam bangsa ini.
Sejarah nasional bangsa kita sudah berulang kali mencatat bahwa perjuangan baru akan berhasil bila di dalamnya terdapat persatuan, kesatuan, serta pengorganisasian yang kuat, tidak bergantung pada jumlah yang banyak. Contoh yang sangat sederhana dari kekuatan persatuan dan pengorganisasian yang baik adalah kesuksesan Bangsa Jepang dan Belanda menjajah bumi pertiwi selama bertahun-tahun, padahal jumlah mereka jauh lebih sedikit daripada kita. Dalam hal ini, sebuah pepatah Arab mengatakan, “Al-katsiiru bi ghairi nidzaamin, yaghlibuhu al-qaliilu bi an-nidzaami” (jumlah yang banyak tetapi tanpa aturan, akan dikalahkan mereka yang sedikit tapi teratur). Senada dengan pepatah tersebut, Sun Tzu dalam “Art of War”-nya menyatakan, “Kekuatan suatu tentara tidak tergantung dari pasukan yang besar. Jangan maju hanya karena pasukan yang besar saja”.
“Jika ada propaganda, bikin dong propaganda yang lebih canggih!”, pernyataan KH. Abdurrahman Wahid ini menjadi inspirasi saya dalam membantu menemukan salah satu solusi untuk menyatukan bangsa. Jika dahulu Bung Karno pernah menyerukan, “Jadilah ‘Bangsa Tempe’!” , kepada bangsa ini untuk membangun bangsa yang kuat, maka dalam kaitannya dengan hal ini saya ingin menandinginya dengan seruan: “Jadilah ‘Bangsa Semut’!”. Pengubahan kata ‘
Civil Society ala Semut
Selama berabad-abad, pengertian tentang civil society terus berkembang. Secara tradisional, hingga abad XVIII Masehi, pengertian ini hanya terbatas pada bentukan kata-kata Yunani “koinomia politike” atau bahasa Romawi “societas civilis” yang berarti masyarakat politik. Kemudian pada abad ini timbul pemikiran-pemikiran sosial dari Inggris, yang terhimpun dalam tulisan-tulisan John Locke, Tom Paine, Adam Smith, dan Adam Ferguson, yang pada dasarnya bisa diambil kesimpulan bahwa civil society adalah suatu konsep masyarakat yang terpisah dari negara, yang memiliki bentuk dan prinsip sederhana. Sedangkan Hegel, dalam “Philosophy of Right” mengartikannya sebagai wadah kehidupan etis, yang terletak diantara kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, dimana faktor-faktor di dalamnya sangat ditentukan oleh permainan ekonomi dan jati diri individual. Pendapat yang paling akhir dari pengertian civil society ini dilontarkan oleh Antonio Gramsci dalam karyanya “Prison Notebooks” (1971), yang menganggap bahwa civil society sebagai bagian dari negara yang terlepas dari pemaksaan ataupun aturan-aturan formal, meski tetap mengandung unsure rekayasa, seperti lazimnya institusi politik.
Menyusul kemudian, untuk membedakan diri dari pemikiran Barat dan memberi contoh yang lebih konkrit, kalangan modernis Islam mengambil model masyarakat civil society dari kehidupan masyarakat Madinah zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Model masyarakat inilah yang kemudian disebut sebagai model masyarakat madani, yaitu masyarakat berperadaban (madaniyah) karena tunduk dan patuh (daana-yadiinu) pada ajaran kepatuhan (diin) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Masyarakat ini, menurut Robert N. Bellah, merupakan tatanan sosial politik yang sangat modern. Segi-segi modernitas yang dimaksud ialah adanya tingkat yang tinggi dalam komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari seluruh anggota masyarakat, keterbukaan posisi kepemimpinan terhadap ukuran kecakapan pribadi, yang dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal, dan dilambangkan dalam percobaan untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang tidak bersifat keturunan. (Nurcholis Madjid, Pluralisme: Teladan dalam Piagam Madinah).
Namun jauh sebelum itu, jutaan tahun sebelum teori-teori tentang civil society dan masyarakat madani muncul, Sang Pencipta Semesta telah menciptakan sebuah model alam yang akan menjadi sebuah contoh dan pelajaran yang berharga bagi umat manusia: semut! Dan ini terbukti bahwa semut-semut selama jutaan tahun telah menjalani sistem social yang ideal dan bertentangan dengan tatanan masyarakat manusia yang didasarkan pada persaingan dan kepentingan individu.
Serangga yang jumlah spesies-nya mencapai angka 14.000-an ini mengajarkan kepada kita memahami perbedaan sebagai nilai positif, rahmat Tuhan. Yang menarik dari kehidupan semut adalah cara hidupnya dengan berkoloni, dimana dalam koloni tersebut terdapat pembagian kasta yang masing-masing mempunyai fungsi untuk mendukung kelangsungan hidup koloninya. Sistem kasta ini terbagi atas tiga bagian besar. Dan yang lebih mengherankan adalah setiap anggota koloni semut, tanpa terkecuali, tunduk pada sistem ini. Di dalam tiga bagian besar kasta yang terdiri dari ratu dan semut-semut jantan, prajurit, dan pekerja ini tidak ditemukan adanya ranta komando antara yang satu dengan yang lainnya. Tugas-tugas terumit dalam masyarakat ini terlaksana karena adanya organisasi diri yang sangat canggih.
Di samping organisasi diri, dalam hal pengorbanan semut benar-benar mampu menunjukkan pengorbanan tingkat tinggi. Setiap semut menjalankan tugas sesuai kedudukan masing-masing tanpa merasa iri dengan tugas yang dilakukan semut dalam kasta yang berbeda. Semut juga mampu memberi segala miliknya, dari makanan hingga nyawa tanpa merasa ragu, agar semut lain tetap hidup. Seperti pengorbanan yang dilakukan oleh semut-semut pejantan yang rela mengikuti upacara perkawinan, yang identik dengan ritual kematiannya. Atau juga seperti yang dicontohkan oleh semut pekerja dari spesies Camponotous, yang mau mengorbankan dirinya dengan melakukan tehnik kamikaze untuk melindungi koloninya. Sementara itu, ketika para semut telah melaksanakan model kehidupan masyarakat madani, manusia masih belum bisa menyelesaikan berbagai masalahnya karena kurangnya pengorbanan diri dan kesadaran diri akan kepentingan bersama, seolah-olah yang terbersit dalam pikirannya adalah: “Hanya aku!”.
Ah, seandainya semut-semut itu hadir dan mengikuti Dialog Nasional “Bersatulah Bangsaku” dalam memperingati Hari Pers Nasional tahun 2003 kemarin, pastilah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan petuah, “Perbedaan justru jadi kekuatan,” mereka akan bersuara lantang, “Kami sudah mencontohkannya, Pak!”.
Komunikasi dan Tehnologi
“Perkembangan geopolitik internasional tidak lagi sebatas pendekatan ideologis, tapi sudah berkembang menjadi pendekatan informasi dan penetrasi pasar,” demikian Sri Sultan menegaskan pentingnya informasi dan komunikasi dalam sebuah bangsa. Dan semut sebagai makhluk social pun telah “memahami” arti penting informasi dan komunikasi antar sesama. Dari menemukan mangsa, bertarung, membangun sarang, hingga gerakan saling mengikuti, hewan arthropoda ini banyak menggunakan isyarat kimiawi sebagai alat komunikasi. Dengan men-sekresi-kan sejumlah senyawa semiokemikal berupa feromon dari tubuhnya, semut bisa memberikan beberapa isyarat yang berbeda kepada sesamanya. Di samping menggunakan senyawa kimia tadi, semut masih menggunakan beberapa cara komunikasi lain yang bisa menyelesaikan masalah-masalah, yang terkadang tidak bisa diselesaikan oleh cara komunikasi manusia sekalipun. Semisal senyawa hidrokarbon sebagai “kartu identitas” koloni, atau juga “berjabatan” antenna sebagai sapaan dan ajakan masuk sarang. Tanpa komunikasi ini semut mustahil bisa hidup, karena semut adalah makhluk sosial yang hidup berdasarkan berita timbal balik dari teman satu koloninya.
Di samping kecanggihan komunikasi, semut juga dianugerahi kecanggihan dalam bidang tehnologi arsitektur dan pertanian. Contoh dari ketinggian tehnologi arsitekturnya semut terdapat pada seni pembuatan sarangnya. Bangsa manusia untuk meniru pembuatan bangunan model sarang semut ini, cukup memakan sebagian besar usia manusia untuk menghimpun informasinya saja. Sebab dalam sarang ini terdapat pola keruangan yang terdiri dari banyak labirin ruang-ruang, dimana di dalamnya termasuk petak-petak perkebunan jamur, gudang makanan, pembuangan limbah, saluran sirkulasi udara, dan gua-gua dengan terowongan yang membentuk jalan sabuk sekitar 7,5 meter dari sarang. Dengan terowongan-terowongan ini beberapa “markas” semut bisa terhubung menjadi semacam
Belum cukup kita dibuat terkagum-kagum dengan tingginya ilmu kimia, arsitek, dan pertanian semut, binatang dengan setengah juta sel syaraf dalam 2-3 milimeter tubuhnya ini juga memiliki kecanggihan biologis dalam tubuhnya. Contoh yang paling mudah dalam semua koloni semut adalah kecanggihan alat perkembangbiakan yang dimiliki setiap ratu semut. Meski setiap pejantan akan mati beberapa jam hingga beberapa hari setelah perkawinan, namun ratu semut bisa membuahkan keturunan dari sperma sang pejantan tadi walaupun telah mati bertahun-tahun. Padahal normalnya sperma makhluk hidup lainnya akan mati beberapa saat jika tidak segera bertemu dengan sel telur.
Dari fenomena inilah para ahli entimologi dan ilmuwan lainnya baru mulai memikirkan bank sperma manusia
Berbagai kehebatan semut yang terangkum dalam “The Miracle in The Ant”-nya Harun Yahya, menimbulkan berbagai pemikiran hebat tentang konsep tekhologi masa depan manusia. Meskipun secara individual semut tidak secanggih manusia, karena mereka hanya diberi kemampuan untuk melakukan sesuatu yang sederhana, namun kekalahan semut ini akan tertutupi jika mereka bekerja sama. Hidup dan kerja sama dalam koloni semut rupanya juga telah mempengaruhi NASA! Rencananya, organisasi ini akan mengirimkan banyak “robot semut” ke planet Mars daripada mengirimkan satu robot canggih. Jadi, meski sebagian robot rusak, robot lain yang tersisa akan mampu merampungkan tugas mereka.
Masya Allah… ternyata teknologi manusia tidak lebih dari sekedar teknologi semut!
Tehnik Bertahan
Jauh sebelum Harun Yahya muncul dan terkenal dengan menentang mentah-mentah teori yang menyatakan bahwa makhluk hidup yang dapat bertahan di alam adalah berkat kemampuan inidividu makhluk itu sendiri, sebenarnya nenek moyang kita pun sudah menyadarinya lewat hidup dengan bekerja sama dan berkoloni. Meski mereka tidak tahu tentang teori seleksi alam Charles Darwin, namun pada prinsipnya mereka juga mampu membuktikan bahwa teori itu salah. Seolah-olah mereka mengetahui bahwa para evolusionis hanya ingin mengesahkan keegoisan mereka sendiri dan menimpakan keegoisan ini ke seluruh alam. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam bentuk gotong royong di berbagai pelosok nusantara, juga lewat semboyan nenek moyang kita yang kini menjadi salah satu syair “lagu garingan” anak muda: “Makan nggak makan asal kumpul!”.
Demikian pula semut, mereka juga mampu bertahan dari berbagai ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya dengan cara bekerja sama. Dalam bertahan ini, semut mempunyai berbagai tehnik dan “siasat perang”. Mulai dari spesies yang bernama Basiceros yang merupakan “ahli kamuflase” dengan menentukan karakter fisiologisnya sendiri untuk bertahan, hingga Componotous yang rela meledakkan tubuhnya sendiri demi menyelematkan teman satu koloninya. Mulai dari “tehnik sensus” untuk mengukur kekuatan musuh, hingga “tehnik blockade” untuk memastikan kemenangannya. Seolah-olah semut ini memahami berbagai kaidah penilaian
Semut-semut ini juga mengenal tehnik diplomasi untuk tetap bisa survive. Seperti layaknya hewan yang lain, mereka juga melakukan simbiosis untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Mulai dari pohon akasia, hingga serangga daun menjadi model pembelajaran kita dalam memahami bagaimana sebuah kerja sama dapat menjadi keunggulan suatu bangsa. Yang pasti, semut-semut ini telah begitu banyak mengajarkan kepada kita, bagaimana sebuah bangsa yang yang terdiri dari elemen-elemen yang hanya melakukan tugas sederhana namun mampu menjadi bangsa yang kokoh. Bahkan jika konsep hidup ala semut ini diterapkan di
Menarik! Semut yang tidak pernah mengikuti mata kuliah sosial-politik, arsitektur, kimia, biologi, dan pertanian ini mampu menjadi nasehat alamiah kepada bangsa
No comments:
Post a Comment
Anda tidak suka atau tidak setuju dengan posting di atas? Atau barangkali anda tahu lebih baik dari saya. Silahkan isi komentar di bawah ini.