22 May 2007

HOT SPOT: Kebutuhan, Peluang, dan Ancaman


Popularitas Tukul Arwana dan jargonnya “kembali ke laptop” benar-benar bisa membuat suatu hal yang signifikan, termasuk di sekitar Yogyakarta. Lihatlah di sekitar kota, khususnya di kampus-kampus, mall/pusat perbelanjaan, ataupun resto/café di bilangan utara Kota Yogyakarta. Banyak anak-anak muda, yang notabenenya mahasiswa, membawa gadget yang biasa digunakan Tukul untuk memandu acaranya itu. Umumnya mereka membawa laptop yang sudah dipersenjatai dengan WiFi (Wireless Fidelity) Card atau kadang disebut juga Wireless LAN Card atau Wireless Card saja. Sebuah piranti untuk laptop yang menghubungkan laptop dengan Access Point(AP) atau Router untuk mengakses internet. Bagi laptop baru, umumnya sudah ter-install WiFi card. Sedangkan laptop lama, cukup dengan mengeluarkan uang dua ratus ribuan, anda sudah dapat menikmati layanan internet gratis di berbagai tempat di Yogyakarta.
Layanan internet gratis di sekitar wilayah AP ini biasanya disebut hot spot. Hot spot yang daya jangkaunya hanya beberapa meter saja ini juga punya standarisasi sendiri. Namun yang paling banyak diterapkan di Yogyakarta, adalah 802.11 b dan 802.11 g yang masing-masing memiliki kecepatan 11 Mbps dan 54 Mbps atau 108 Mbps dengan tambahan Turbo G (saya belum menemukan yang 802.11 a). Kedua standarisasi ini bekerja pada frekuensi 2,4 GHz.
Untuk memanfaatkan Hot Spot ini, ada berbagai macam kebijakan yang diterapkan oleh provider-nya. Ada yang bisa langsung terhubung dengan AP (seperti di Ambarukmo Plaza/Citranet, Kedai Nusantara di Nologaten, atau Lembah Kampus UGM), ada yang harus terdaftar MAC address (nomor seri WiFi Card) dan IP address-nya (seperti di kampus, i.e.: AMIKOM, UGM), dan ada pula yang memakai WEP Key (semacam password ke AP) (seperti di RAMA-NET/Netindo Group, Seturan).
Namun biarpun berbeda-beda, ada satu kesamaan keuntungan yang bisa kita dapatkan, sama-sama gratis. Hal ini sangat menguntungkan, khususnya bagi mahasiswa yang senang mendengar kata “gratis”. Kalau beruntung, anda bisa sekaligus menikmati pemandangan atau suasana yang menyenangkan di sekitar hot spot. Kalau ada duit, anda bisa singgah ke café sembari menikmati secangkir kopi, cukup dengan sedikit biaya yang jauh lebih murah daripada yang anda keluarkan untuk menggunakan jasa warnet. Yang paling asyik adalah jika tempat tinggal kita dekat dengan area hot spot. Jika legal, kita bisa memanfaatkan layanan ini kapan pun kita mau. (Hal ini sangat berbeda dengan yang saya rasakan ketika di Bandung –ketika saya PKL di Telkom RisTI selama dua bulanan. Semisal di BTC (Bandung Trade Center), BEC, Cihampelas Walk atau beberapa café lain yang mengharuskan berlangganan ke CBN, Melsa, atau IM2. Kalau ada gratisan, biasanya tiap sekitar tiga menit putus).
Adanya hot spot gratisan ini, bagi kebanyakan mahasiswa seperti saya merupakan berkah tersendiri. Selain hemat biaya, resiko keamanan seperti history, cache, ataupun lupa logout dari suatu website bisa terhindari dengan memakai laptop sendiri. Software aplikasi yang digunakan pun bisa lebih beragam dari software-software yang terinstal di komputer warnet. Bagi entrepreneur, melihat hot spot ini merupakan suatu peluang untuk melebarkan segmentasi pasar atau menjaga loyalitas pelanggan. Dan bagi pedagang komputer, hot spot ini menjadi isu penting untuk menaikkan angka penjualan laptopnya.
Di samping keuntungan dan peluang yang ditawarkan, hot spot juga datang dengan sedikit kerugian dan ancaman. Yang nantinya paling terasa dampaknya adalah bisnis warnet. Seiring terjangkaunya harga laptop, orang-orang yang beralih menggunakan layanan hot spot ini pun akan makin banyak jumlahnya. Namun, hot spot ini pun bukan berarti bebas dari ancaman. Ada segelintir orang yang “kreatif” (baca:kere dan aktif) yang tinggal di sekitar lokasi hot spot, mampu menghadirkan hot spot tadi ke tempat tinggalnya. Tentunya resiko keamanan dan bandwith yang terbuang karena hal ini harus bisa diatasi. Selain hal tersebut, yang mungkin jadi ancaman buat WiFi adalah hadirnya tehnologi baru yang lebih hebat seperti WiMax yang punya daya jangkau hingga 30 km. Jika sudah begini, maka pemerintah dan instansi/asosiasi pengusaha yang terkait harus secepatnya membuat regulasi untuk memanfaatkan keuntungannya dan mengatasi kerugian yang dibawa.
Di balik semuanya, saya yakin nantinya akses internet masyarakat kita bisa merata dan cuma-cuma. Menjadi suatu kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan kita. Sama seperti akses acara televisi. Dulu kita wajib membayar “iuran”, namun sekarang kita bisa menonton acara televisi sesuka hati kita berkat kerjasama sponsor yang menjajakan produknya lewat televisi. Pertanyaannya: “Siapkah kita menyaring informasi dari internet tersebut? Khususnya untuk anak-anak dan generasi muda kita?”

2 comments:

  1. Jogja makin banyak hotspot, makin asyik... yang penting hidangannya murah2... he...

    ReplyDelete
  2. jogaja. kampus.mahasiswa... ugh.... rame

    ReplyDelete

Anda tidak suka atau tidak setuju dengan posting di atas? Atau barangkali anda tahu lebih baik dari saya. Silahkan isi komentar di bawah ini.