24 September 2007

Adios, Jose!


Rasanya bagai disambar petir di siang bolong, ketika Jumat (21/9) yang lalu saya dikabari teman bahwa pelatih eksentik berkebangsaan Portugal yang menjuluki dirinya sendiri ‘The Special One’, Jose Mourinho, mengundurkan diri dari Chelsea FC. Awal mulanya saya cuma menganggap kabar tersebut sebagai gurauan saja. Saya sendiri baru benar-benar percaya setelah pada hari Minggu (23/9) menyaksikan siaran One Stop Football on Sunday di Trans7.
Kepergian pelatih ini juga mungkin akibat hasil tidak maksimal yang diperoleh dari pertandingannya yang terakhir, ditahan imbang 1-1 melawan Rosenborg FC (Champions League), dan sebelumnya 0-0 melawan Blackburn Rovers serta kalah dari tim tuan rumah Aston Villa 2-0 (EPL). Prestasi yang cenderung menurun ini, meski masih menempatkan Chelsea di papan atas persaingan EPL, namun tidak sesuai dengan ekspektasi sang pemilik Chelsea, Roman Abramovich.

Roman sebagai seorang biliuner Rusia yang selalu menginginkan hasil lebih tentu mempunyai ‘standar kemlaratan’ yang berbeda. Setelah sukses membawa FC Porto menjuarai liga Champion, Jose ditransfer ke Chelsea pada musim 2004-05. Kontan prestasi yang dihasilkannya luar biasa gemilang. Selama hamper setengah abad Chelsea belum mendapatkan gelar di Liga Premiere, langsung diberikannya pada musim itu. Dan langsung dua musim berturutan. Sayang kesempatan untuk mempertahankan dominasi tiga tahun berturutan dipatahkan Manchester United karena krisis lini belakang di tubuh Chelsea.
Enam tropi yang diberikannya selama tiga tahun membesut Chelsea rupanya belum cukup menghapus dahaga sang pemilik akan trofi Liga Champion. Selain dandanannya yang ‘dandy’, mulut pedas dan tingkah laku kontroversialnya membuat dirinya menjadi sosok yang paling menarik perhatian sekaligus menjadikan dirinya sebagai pribadi yang mudah mempunyai masalah. Pria yang pernah dinobatkan sebagai pemilik gaya berbusana terbaik di Britania Raya bersanding dengan Gwen Stefani di dandanan wanitanya ini, selain sering melakukan perang kata-kata dengan para rivalnya, juga acap kali melontarkan pernyataan pedas terhadap pemain dan petinggi klubnya sendiri.
Keputusannya untuk membangku cadangkan pemain kesayangan Roman, Shevchenko dan Ballack, bahkan tidak mencantumkan Ballack dalam daftar pemain Chelsea untuk babak kualifikasi grup liga Champion membuat posisinya seperti telur di ujung tanduk. Dan konfliknya dengan pemain Chelsea pun semakin membuat keputusannya untuk mundur menjadi tak terelakkan.
Dan yang saya sangat sesalkan adalah kenapa tidak ada pembelaan dari pihak Chelsea, mengingat prestasinya yang gemilang selama ini. Termasuk rekor kandang tak pernah terkalahkan terbanyak di EPL (64 pertandingan) yang mampu mematahkan rekor 63 kali milik Liverpool pada saat ditangani Bob Paisley (1978-80).
Sosok yang mampu memberi motivasi dan mendoktrin para pemain untuk menjadi juara benar-benar menjadi inspirasi bagi saya. Buat saya Jose ibarat Hitler untuk Nazi. Kepemimpinannya yang kuat dan eksentrik ini juga menjadi komoditas tersendiri bagi industri persepakbolaan Inggris. Saya yakin, lepasnya Mourinho akan mengurangi ‘nilai jual’ EPL. Bahkan seterunya di lapangan, Sir Alex Ferguson pun sangat menyayangkan mundurnya Mourinho. Mungkin tidak akan ada lagi sosok yang bisa diajak berbagi wine dan beradu komentar di luar lapangan. Dari semua pembeberan tadi, bagi diri saya sendiri, untuk saat ini saya tidak punya alasan untuk mencintai Chelsea lagi. Saya cuma berharap saya bisa melihat aksi-aksi Mourinho lagi di dalam dan luar lapangan. Dan saya pun berharap seandainya tulisan ini bisa menggugah para blogger lain yang memiliki persamaan dengan apa yang saya rasakan, untuk sama-sama menuliskan komentarnya. Semoga saja tulisan ini bisa ada artinya.