Semakin malam obrolan empat orang di pos ronda RT 05 RW X Kelurahan M serasa makin asyik. Paling tidak, itulah cara terbaik mereka yang meronda malam itu untuk menghilangkan kantuk. Sambil sesekali berkelakar dan bermain kartu, mereka satu per satu keliling memantau keadaan sekitarnya. Kegiatan ronda malam yang sudah lama mati kini dijalankan lagi setelah maraknya kemalingan di sekitar Kelurahan M semakin santer akhir-akhir ini. Rumah yang terakhir kemalingan adalah rumah Pak Lurah mereka. Seperangkat home theater dan beberapa peralatan elektronik lainnya ludes dibawa maling. Sejak itulah, Pak Lurah yang juga seorang pengusaha waralaba itu mengeluarkan instruksi untuk mengaktifkan kembali kegiatan ronda malam di masing-masing RT. Alhamdulillah, hampir satu bulan sejak dikeluarkannya instruksi itu belum ada kejadian kemalingan lagi di Kelurahan M.
“Kalo dihitung-hitung, yang paling banyak kemalingannya itu Pak Lurah kita, ya Kang?,” kata Juned pada Kang Amin dengan nada bertanya.
“Dia mah enggak begitu kehilangan. Hasil usaha dagangannya sebulan saja lebih dari cukup untuk membeli lagi barang-barang yang dicuri itu,” timpal Kang Amin yang mulutnya penuh dengan kripik singkong. Ia memang tidak pernah mau rugi soal makanan. Mumpung sekarang bukan gilirannya untuk menyuguhkan makanan. Sebaliknya, ia akan sedikit makan kalau tiba gilirannya. Syukur-syukur masih ada sisa untuk dibawa pulang dan bias untuk cemilan di rumah. Maklum, keluarga Kang Amin termasuk keluarga dengan ekonomi pas-pasan.
“Yang paling kasihan ya Pak Giman itu. Motor kreditan yang baru dipakai tiga hari ikut-ikutan diboyong maling,” Kang Soleh, Ketua Pemuda RT 05, tidak mau ketinggalan memberikan komentar.
“Betul Kang! Padahal kreditannya
“Eh iya, ngomong-ngomong sampeyan sudah nanya sama Abah belum siapa malingnya dan dimana keberadaannya?,” tanya Juned pada Kang Soleh.
“Sudah, katanya sih pelakunya gerombolan.”
“Abah tidak menyebutkan satu per satu namanya dan dimana mereka sekarang?”
“Tidak.”
“Aneh ya? Tidak biasanya Abah seperti itu. Biasanya Abah
“Iya ya, Ned! Dulu saja ada muridku yang kehilangan tas sekolah, terus dia langsung sowan ke Abah. Abah langsung ngasih tahu kalau tasnya ketinggalan di rumah temannya,” Pak Kelik kembali menimpali.
“Ah… mungkin Abah sudah terlalu capek malam itu. ‘Pasien’-nya
“Iya ya, mungkin betul yang barusan sampeyan katakana. Katanya Abah itu Cuma punya waktu tidur tiga jam setiap harinya,” kata Kang Amin sambil melilitkan sarung di pinggangnya dan menghabiskan kopi yang tersisa di gelas besarnya. Sebentar lagi giliran dia menggantikan Pak Asep yang sedang keliling.
“Coba saja sampeyan hitung sendiri.”
Kang Soleh menyalakan rokok kelintingan-nya, kebiasaan dia sebelum bercerita.
“Pagi hari beliau harus bangun jam empatan untuk memimpin jamaah subuh di masjid pesantrennya. Setelah itu ngajar ngaji santri-santrinya. Selesai pengajian dia ngantor di Madrasah Aliyah sebagai Kepala Madrasah. Itu pun kadang-kadang beliau keluar dari Madrasah untuk mengontrol anak buah di toko meubel dan bengkel mobilnya. Biasanya beliau keluar dari toko atau bengkel ba’da Ashar. Sehabis itu, ngajar ngaji bandongan di Masjid Agung. Maghrib sampai Isya, beliau mengkhususkan diri untuk ber-i’tikaf di Masjid. Tidak boleh diganggu siapapun, apalagi mengurus hal-hal yang bersifat keduniawian. Beliau punya waktu untuk berkumpul dengan keluarga beliau sampai jam sembilan malam. Paling-paling sekedar beristirahat atau makan bersama keluarga. Itu juga kalau beliau tidak ada permintaan untuk mengisi pengajian di suatu acara. Sehabis itu, beliau buka praktek dan menerima tamu-tamu yang mau berkonsultasi padanya, mulai dari permasalahan hukum agama hingga hal-hal seperti pesugihan, mulai orang kere hingga konglomerat atau pejabat teras, sampai jam satu malam.”
“Ck… ck … ck… Luar biasa kegiatan Pak Kyai Tamim alias si Abah itu ya! Sudah kebutuhan dunianya tercukupi, ilmunya pun bermanfaat bagi orang banyak,” sahut Kang Amin spontan.
“Itu juga tidak terlepas dari jasa ayahanda beliau, Kyai Muklas. Konon Abah mewarisi pengikut almarhum Kyai Muklas dari bangsa jin yang jumlahnya ribuan. Jin-jin inilah yang selalu membantu Abah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pasiennya.”
“Dan saya rasa uang yang beliau terima dari pemberian pasien-pasiennya setiap bulan saja cukup untuk biaya naik haji berapa orang.”
“Itulah rizqi, kita yang sulit-sulit nyari ngalor-ngidul belum tentu dapat, Abah tinggal duduk di rumah, rizqinya malah nyamperin dia,” Juned yang dari tadi Cuma bertanya kini memberikan komentar.
Begitulah, malam itu tidak terasa terlewati dengan obrolan yang mengasyikkan. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, sejak kegiatan ronda malam diaktifkan kembali malah tidak ada kejadian apa-apa. Bertentangan dengan ingin terciptanya rasa aman, warga RT 05 dan juga seluruh warga Kelurahan M hanya bisa berharap maling-maling itu melakukan tindakan ceroboh yang bisa membuat mereka tertangkap.
Malam kali ini, rintik-rintik hujan mulai turun sejak ba’da Isya tadi. Namun demikian, tetap saja tak dapat membuat semangat warga yang mendapat giliran tugas ronda malam itu surut. Mereka benar-benar menunaikan tugas mulia itu dengan tingkat kesadaran pribadi yang sangat tinggi. Mereka tidak ingin ada lagi salah satu warganya kehilangan harta benda mereka.
“Sampeyan sudah sowan ke Abah lagi, Kang?,” tanya Pak Giman.
“Sudah,” jawab Kang Soleh. Kang Soleh diam sebentar sambil menghirup nafas panjang dan melinting-linting rokoknya. Dia seperti sudah benar-benar kehabisan akal untuk memuaskan pertanyaan itu. Mulutnya hanya mampu mengeluarkan jawaban singkat yang entah sudah diulangnya berapa kali. “Abah masih belum memberikan jawaban pasti, ia hanya berpesan supaya kita bersabar.”
“Saya kok jadi curiga dengan Abah. Tidak biasanya Abah seperti ini!”
“Hus …! Segala bentuk su’udzan itu gak baik Pak,” tukas Kang Soleh. Tiba-tiba memorinya tersangkut kembali dengan kejadian serupa yang pernah dialami Bu Minah, tetangga satu temboknya. “Setahun yang lalu Bu Minah juga pernah kehilangan perhiasannya, namun Abah juga tidak memberikan jawaban pasti.”
“Dan sampai sekarang?,” Pak Giman bertanya lagi. Tapi apapun jawaban yang dikatakan Kang Soleh nantinya, dia hanya mencemaskan motornya yang tidak kunjung kembali.
“Belum ketemu.”
“Ah… lagi pula tak semua jawaban Abah bisa dipastikan kebenarannya. Saya juga punya teman seperti Abah. Tapi jawabannya sering salah. Itu juga tergantung amal dan wiridan yang dilakukan Abah dan tingkat ilmunya serta jin yang menjadi khadam-nya,” komentar Pak De Tomo, sesepuh yang membuat empat lain yang meronda malam itu enggan untuk bermain kartu seperti biasanya. Pak De hanya ingin menenangkan Pak Giman yang jelas masih terlihat belum percaya dan bisa menerima musibah yang menimpanya.
“Maksudnya?”
“Tidak ada satu pun makhluk yang sempurna. Apalagi sempurna perbuatannya. Jin, seperti halnya manusia, juga punya keterbatasan. Meskipun jin itu makhluk ghaib, namun bukan berarti mereka tahu segala sesuatunya. Hanya Allah lah yang Alimul Ghaibi was Syahadah, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nampak.”
Setelah Pak De Tomo selesai berbicara, tiba-tiba Pak Giman menjadi sumringah dan segera bangkit dari duduknya dengan penuh semangat. Bukan karena jawaban Pak De Tomo yang bijak dan menenangkan itu, namun karena terdengar suara yang ditunggu-tunggu Pak Giman selama ini.
“Maling… maling… maling…!,” teriakan itu bergema disertai suara kentongan. Kang Soleh sontak menabuh kentongan di Pos Siskamling dan diikuti keempat kawannya berteriak memberitahukan adanya maling.
Tiga bayangan hitam berkelebat tak karuan malam itu. Sosok mereka sulit untuk dikenali, karena selain cahaya lampu yang remang-remang, wajah mereka pun tertutup. Namun secara fisik dapat diperkirakan bahwa tiga sosok itu adalah lelaki dan masih muda. Tubuh mereka tegap dan tinggi dengan perawakan yang kekar.
Tiga bayangan hitam yang sudah menyadari diri mereka akan menjadi sasaran amukan warga secepat mungkin ambil langkah seribu dari rumah yang menjadi sasaran perbuatan mereka malam itu. Tubuh mereka yang tinggi besar tak mampu menyembunyikan nyali mereka yang menciut. Debaran jantung mereka terasa lebih keras dan kencang dari biasanya. Adrenalin terasa terpompa deras di bawah kulit mereka. Tak ada waktu untuk berfikir kemana mereka akan lari dan bersembunyi. Mereka benar-benar panik. Barang-barang yang mereka ambil dari rumah korbannya mereka tinggalkan begitu saja. Yang penting bagi mereka saat ini adalah selamat dari kepungan warga.
Warga yang sudah dipenuhi rasa kemarahan dengan penuh semangat mengejar ketiga sosok itu. Semua warga dengan keadaan seadanya turut serta berlari di belakang ketiganya. Ketiga sosok itu terus berlari dengan menghimpun segenap tenaga yang tersisa. Ketika ketiganya sampai di pertigaan jalan, mereka tak bisa berfikir dan bergerak bersama-sama lagi. Mereka berpisah. Yang satu lari ke arah kiri, dua yang lain ke arah kanan. Namun
Ketiga bayangan hitam itu sudah terpojok. Tak ada celah jalan ataupun gang-gang sempit untuk melarikan diri. Mereka berdiri merapat di tengah-tengah persimpangan jalan. Lutut mereka gemetaran. Mereka benar-benar takut. Untuk menatap wajah para warga pun mereka tak berani. Keberanian yang tersisa dari mereka hanyalah mengharapkan belas kasihan dan ampunan warga, yang tak mereka berikan pada para korbannya dulu. “Ampun… ampun…,” kata-kata itu diucapkan dengan mimik memelas dan wajah pusat pasi.
Sayangnya permintaan maaf mereka tak diterima warga. Satu pukulan mendarat telak di tengkuk salah satu dari mereka. Pukulan itu langsung diikuti pukulan-pukulan lainnya yang tanpa ampun menghajar wajah dan tubuh mereka malam itu. Amarah dan emosi sudah tak dapat dibendung lagi. Mereka melampiaskan kedongkolan yang sudah lama ditahan. Terlebih lagi Pak Giman. Malam itu dia seperti kerasukan tenaga yang luar biasa. Pukulan dan tendangan yang dilayangkannya menghajar tanpa belas kasihan.
Kang Soleh yang sedari tadi berada di belakang kerumunan
Salah satu maling itu telah mati. Kang Soleh mencoba membuka topeng yang menjadi penutup wajah maling itu. Dalam keremangan lampu-lampu jalan malam itu, Kang Soleh berusaha mengenali wajah yang sudah hancur itu. Kang Soleh tersentak kaget ketika berhasil mengenali wajah yang tidak asing baginya.
“Astaghfirullahaladzim, taufik dan hidayah-Nya memang sebagian dari rahasia-Nya.”
Setelah mendengar kejadian itu, Kyai Tamim langsung pergi menuju tempat kejadian perkara (TKP). Hatinya galau. Ia berharap berita yang baru didengarnya dari beberapa pemuda yang melapor padanya tidak benar-benar terjadi. Sepanjang jalan ia berusaha menata hatinya berulang kali. Raut gelisah terlihat jelas di wajahnya dan matanya yang mulai berkaca-kaca.
Di TKP sudah terlihat beberapa orang polisi mengamankan kedua tersangka yang masih hidup dan sesosok jasad yang menggeletak tak berdaya itu. Beberapa polisi lain terlihat sedang mengorek keterangan dan menyusun kronologi kejadian. Kyai Tamim segera menghampiri jasad yang sudah tak bernyawa lagi setelah polisi memberinya izin untuk melewati garis batas polisi. Ditatapnya sosok itu. Berulangkali ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang dilihatnya tidak benar. Namun dilihat berapa kali pun tetap saja ia tak bisa memungkiri bahwa sosok itu benar-benar sudah mati. Dan sosok itu sangatlah dicintainya.Ia menghampiri tubuh itu, kemudian memeluknya. Tangisnya memecah memilukan warga yang masih berdiri di sekitar TKP. Pelan-pelan dipanggilnya beberapa kali nama orang yang sudah mati itu, berharap dia masih bisa mengucapkan sedikit salam perpisahan untuk yang terakhir kalinya, serta sedikit permintaan maaf. Maaf karena tidak bisa mengemban amanat yang telah diberikan Allah kepadanya. Maaf karena dirinya telah gagal mendidiknya. Gagal menjadi ayah bagi jasad itu. Buah hatinya sendiri. Anaknya yang telah terjerumus dalam pergaulan yang salah, dan Kyai Tamim berharap masih bisa membawanya kembali sebelum Allah menakdirkan lain. Namun, tetap saja jasad itu tak bergeming. La haula wala quwata illa billah…