04 March 2007

Setitik Nila


Semakin malam obrolan empat orang di pos ronda RT 05 RW X Kelurahan M serasa makin asyik. Paling tidak, itulah cara terbaik mereka yang meronda malam itu untuk menghilangkan kantuk. Sambil sesekali berkelakar dan bermain kartu, mereka satu per satu keliling memantau keadaan sekitarnya. Kegiatan ronda malam yang sudah lama mati kini dijalankan lagi setelah maraknya kemalingan di sekitar Kelurahan M semakin santer akhir-akhir ini. Rumah yang terakhir kemalingan adalah rumah Pak Lurah mereka. Seperangkat home theater dan beberapa peralatan elektronik lainnya ludes dibawa maling. Sejak itulah, Pak Lurah yang juga seorang pengusaha waralaba itu mengeluarkan instruksi untuk mengaktifkan kembali kegiatan ronda malam di masing-masing RT. Alhamdulillah, hampir satu bulan sejak dikeluarkannya instruksi itu belum ada kejadian kemalingan lagi di Kelurahan M.

“Kalo dihitung-hitung, yang paling banyak kemalingannya itu Pak Lurah kita, ya Kang?,” kata Juned pada Kang Amin dengan nada bertanya.

“Dia mah enggak begitu kehilangan. Hasil usaha dagangannya sebulan saja lebih dari cukup untuk membeli lagi barang-barang yang dicuri itu,” timpal Kang Amin yang mulutnya penuh dengan kripik singkong. Ia memang tidak pernah mau rugi soal makanan. Mumpung sekarang bukan gilirannya untuk menyuguhkan makanan. Sebaliknya, ia akan sedikit makan kalau tiba gilirannya. Syukur-syukur masih ada sisa untuk dibawa pulang dan bias untuk cemilan di rumah. Maklum, keluarga Kang Amin termasuk keluarga dengan ekonomi pas-pasan.

“Yang paling kasihan ya Pak Giman itu. Motor kreditan yang baru dipakai tiga hari ikut-ikutan diboyong maling,” Kang Soleh, Ketua Pemuda RT 05, tidak mau ketinggalan memberikan komentar.

“Betul Kang! Padahal kreditannya kan sampai tiga tahun, dan gaji guru SD seperti Pak Giman dan saya ini kan kecil. Paling sisa sedikit setelah semua kebutuhan hidup keluarga tercukupi,” kata Kelik teman seprofesi Pak Giman.

“Eh iya, ngomong-ngomong sampeyan sudah nanya sama Abah belum siapa malingnya dan dimana keberadaannya?,” tanya Juned pada Kang Soleh.


“Sudah, katanya sih pelakunya gerombolan.”

“Abah tidak menyebutkan satu per satu namanya dan dimana mereka sekarang?”

“Tidak.”

“Aneh ya? Tidak biasanya Abah seperti itu. Biasanya Abah kan kalau ditanya barang-barang yang hilang langsung memberi tahu barangnya sekarang ada dimana dan siapa yang mengambil.”

“Iya ya, Ned! Dulu saja ada muridku yang kehilangan tas sekolah, terus dia langsung sowan ke Abah. Abah langsung ngasih tahu kalau tasnya ketinggalan di rumah temannya,” Pak Kelik kembali menimpali.

“Ah… mungkin Abah sudah terlalu capek malam itu. ‘Pasien’-nya kan banyak. Waktu berkunjung ke Abah kemarin, kebetulan aku pasien terakhir malam itu,” Kang Soleh mencoba tetap ber-khusnudzan.

“Iya ya, mungkin betul yang barusan sampeyan katakana. Katanya Abah itu Cuma punya waktu tidur tiga jam setiap harinya,” kata Kang Amin sambil melilitkan sarung di pinggangnya dan menghabiskan kopi yang tersisa di gelas besarnya. Sebentar lagi giliran dia menggantikan Pak Asep yang sedang keliling.

“Coba saja sampeyan hitung sendiri.”

Kang Soleh menyalakan rokok kelintingan-nya, kebiasaan dia sebelum bercerita.

“Pagi hari beliau harus bangun jam empatan untuk memimpin jamaah subuh di masjid pesantrennya. Setelah itu ngajar ngaji santri-santrinya. Selesai pengajian dia ngantor di Madrasah Aliyah sebagai Kepala Madrasah. Itu pun kadang-kadang beliau keluar dari Madrasah untuk mengontrol anak buah di toko meubel dan bengkel mobilnya. Biasanya beliau keluar dari toko atau bengkel ba’da Ashar. Sehabis itu, ngajar ngaji bandongan di Masjid Agung. Maghrib sampai Isya, beliau mengkhususkan diri untuk ber-i’tikaf di Masjid. Tidak boleh diganggu siapapun, apalagi mengurus hal-hal yang bersifat keduniawian. Beliau punya waktu untuk berkumpul dengan keluarga beliau sampai jam sembilan malam. Paling-paling sekedar beristirahat atau makan bersama keluarga. Itu juga kalau beliau tidak ada permintaan untuk mengisi pengajian di suatu acara. Sehabis itu, beliau buka praktek dan menerima tamu-tamu yang mau berkonsultasi padanya, mulai dari permasalahan hukum agama hingga hal-hal seperti pesugihan, mulai orang kere hingga konglomerat atau pejabat teras, sampai jam satu malam.”

“Ck… ck … ck… Luar biasa kegiatan Pak Kyai Tamim alias si Abah itu ya! Sudah kebutuhan dunianya tercukupi, ilmunya pun bermanfaat bagi orang banyak,” sahut Kang Amin spontan.

“Itu juga tidak terlepas dari jasa ayahanda beliau, Kyai Muklas. Konon Abah mewarisi pengikut almarhum Kyai Muklas dari bangsa jin yang jumlahnya ribuan. Jin-jin inilah yang selalu membantu Abah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pasiennya.”

“Dan saya rasa uang yang beliau terima dari pemberian pasien-pasiennya setiap bulan saja cukup untuk biaya naik haji berapa orang.”

“Itulah rizqi, kita yang sulit-sulit nyari ngalor-ngidul belum tentu dapat, Abah tinggal duduk di rumah, rizqinya malah nyamperin dia,” Juned yang dari tadi Cuma bertanya kini memberikan komentar.

Begitulah, malam itu tidak terasa terlewati dengan obrolan yang mengasyikkan. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, sejak kegiatan ronda malam diaktifkan kembali malah tidak ada kejadian apa-apa. Bertentangan dengan ingin terciptanya rasa aman, warga RT 05 dan juga seluruh warga Kelurahan M hanya bisa berharap maling-maling itu melakukan tindakan ceroboh yang bisa membuat mereka tertangkap.

Malam kali ini, rintik-rintik hujan mulai turun sejak ba’da Isya tadi. Namun demikian, tetap saja tak dapat membuat semangat warga yang mendapat giliran tugas ronda malam itu surut. Mereka benar-benar menunaikan tugas mulia itu dengan tingkat kesadaran pribadi yang sangat tinggi. Mereka tidak ingin ada lagi salah satu warganya kehilangan harta benda mereka.

Sampeyan sudah sowan ke Abah lagi, Kang?,” tanya Pak Giman.

“Sudah,” jawab Kang Soleh. Kang Soleh diam sebentar sambil menghirup nafas panjang dan melinting-linting rokoknya. Dia seperti sudah benar-benar kehabisan akal untuk memuaskan pertanyaan itu. Mulutnya hanya mampu mengeluarkan jawaban singkat yang entah sudah diulangnya berapa kali. “Abah masih belum memberikan jawaban pasti, ia hanya berpesan supaya kita bersabar.”

“Saya kok jadi curiga dengan Abah. Tidak biasanya Abah seperti ini!”

“Hus …! Segala bentuk su’udzan itu gak baik Pak,” tukas Kang Soleh. Tiba-tiba memorinya tersangkut kembali dengan kejadian serupa yang pernah dialami Bu Minah, tetangga satu temboknya. “Setahun yang lalu Bu Minah juga pernah kehilangan perhiasannya, namun Abah juga tidak memberikan jawaban pasti.”

“Dan sampai sekarang?,” Pak Giman bertanya lagi. Tapi apapun jawaban yang dikatakan Kang Soleh nantinya, dia hanya mencemaskan motornya yang tidak kunjung kembali.

“Belum ketemu.”

“Ah… lagi pula tak semua jawaban Abah bisa dipastikan kebenarannya. Saya juga punya teman seperti Abah. Tapi jawabannya sering salah. Itu juga tergantung amal dan wiridan yang dilakukan Abah dan tingkat ilmunya serta jin yang menjadi khadam-nya,” komentar Pak De Tomo, sesepuh yang membuat empat lain yang meronda malam itu enggan untuk bermain kartu seperti biasanya. Pak De hanya ingin menenangkan Pak Giman yang jelas masih terlihat belum percaya dan bisa menerima musibah yang menimpanya.

“Maksudnya?”

“Tidak ada satu pun makhluk yang sempurna. Apalagi sempurna perbuatannya. Jin, seperti halnya manusia, juga punya keterbatasan. Meskipun jin itu makhluk ghaib, namun bukan berarti mereka tahu segala sesuatunya. Hanya Allah lah yang Alimul Ghaibi was Syahadah, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nampak.”

Setelah Pak De Tomo selesai berbicara, tiba-tiba Pak Giman menjadi sumringah dan segera bangkit dari duduknya dengan penuh semangat. Bukan karena jawaban Pak De Tomo yang bijak dan menenangkan itu, namun karena terdengar suara yang ditunggu-tunggu Pak Giman selama ini.

“Maling… maling… maling…!,” teriakan itu bergema disertai suara kentongan. Kang Soleh sontak menabuh kentongan di Pos Siskamling dan diikuti keempat kawannya berteriak memberitahukan adanya maling. Para warga sekitar RT 05 berhamburan keluar rumah. Makin lama makin banyak suara itu. Tak mau ketinggalan, para warga dari RT lain pun ikut beramai-ramai turun ke jalan mengikuti sumber suara. Saat yang mereka tunggu selama ini untuk menangkap maling yang selama ini membuat mereka tak bisa tidur tenang sudah datang.

Tiga bayangan hitam berkelebat tak karuan malam itu. Sosok mereka sulit untuk dikenali, karena selain cahaya lampu yang remang-remang, wajah mereka pun tertutup. Namun secara fisik dapat diperkirakan bahwa tiga sosok itu adalah lelaki dan masih muda. Tubuh mereka tegap dan tinggi dengan perawakan yang kekar.

Tiga bayangan hitam yang sudah menyadari diri mereka akan menjadi sasaran amukan warga secepat mungkin ambil langkah seribu dari rumah yang menjadi sasaran perbuatan mereka malam itu. Tubuh mereka yang tinggi besar tak mampu menyembunyikan nyali mereka yang menciut. Debaran jantung mereka terasa lebih keras dan kencang dari biasanya. Adrenalin terasa terpompa deras di bawah kulit mereka. Tak ada waktu untuk berfikir kemana mereka akan lari dan bersembunyi. Mereka benar-benar panik. Barang-barang yang mereka ambil dari rumah korbannya mereka tinggalkan begitu saja. Yang penting bagi mereka saat ini adalah selamat dari kepungan warga.

Warga yang sudah dipenuhi rasa kemarahan dengan penuh semangat mengejar ketiga sosok itu. Semua warga dengan keadaan seadanya turut serta berlari di belakang ketiganya. Ketiga sosok itu terus berlari dengan menghimpun segenap tenaga yang tersisa. Ketika ketiganya sampai di pertigaan jalan, mereka tak bisa berfikir dan bergerak bersama-sama lagi. Mereka berpisah. Yang satu lari ke arah kiri, dua yang lain ke arah kanan. Namun malang bagi ketiganya. Kemanapun mereka lari, di depan mereka sudah menghadang sekelompok massa lainnya yang sudah siap dengan alat pemukul di tangan mereka masing-masing. Ada yang memakai tongkat, sapu, payung, panci, ranting-ranting pohon, bahkan beberapa senjata tajam.

Ketiga bayangan hitam itu sudah terpojok. Tak ada celah jalan ataupun gang-gang sempit untuk melarikan diri. Mereka berdiri merapat di tengah-tengah persimpangan jalan. Lutut mereka gemetaran. Mereka benar-benar takut. Untuk menatap wajah para warga pun mereka tak berani. Keberanian yang tersisa dari mereka hanyalah mengharapkan belas kasihan dan ampunan warga, yang tak mereka berikan pada para korbannya dulu. “Ampun… ampun…,” kata-kata itu diucapkan dengan mimik memelas dan wajah pusat pasi.

Sayangnya permintaan maaf mereka tak diterima warga. Satu pukulan mendarat telak di tengkuk salah satu dari mereka. Pukulan itu langsung diikuti pukulan-pukulan lainnya yang tanpa ampun menghajar wajah dan tubuh mereka malam itu. Amarah dan emosi sudah tak dapat dibendung lagi. Mereka melampiaskan kedongkolan yang sudah lama ditahan. Terlebih lagi Pak Giman. Malam itu dia seperti kerasukan tenaga yang luar biasa. Pukulan dan tendangan yang dilayangkannya menghajar tanpa belas kasihan.

Kang Soleh yang sedari tadi berada di belakang kerumunan massa, berusaha masuk ke tengah-tengah kepungan untuk menghentikan aksi main hakim sendiri itu. Dengan dibantu beberapa pemuda lainnya, akhirnya aksi warga itu dapat dihentikan. Namun malang, salah satu dari maling itu sudah terkapar tak berdaya. Kang Soleh mendekati tubuh itu dan memeriksa detak jantungnya. Dia menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya. Dia menyesali tindakan warga yang main hakim sendiri, meskipun dia dapat memaklumi dan mengerti tindakan mereka.

Salah satu maling itu telah mati. Kang Soleh mencoba membuka topeng yang menjadi penutup wajah maling itu. Dalam keremangan lampu-lampu jalan malam itu, Kang Soleh berusaha mengenali wajah yang sudah hancur itu. Kang Soleh tersentak kaget ketika berhasil mengenali wajah yang tidak asing baginya.

Astaghfirullahaladzim, taufik dan hidayah-Nya memang sebagian dari rahasia-Nya.”

Setelah mendengar kejadian itu, Kyai Tamim langsung pergi menuju tempat kejadian perkara (TKP). Hatinya galau. Ia berharap berita yang baru didengarnya dari beberapa pemuda yang melapor padanya tidak benar-benar terjadi. Sepanjang jalan ia berusaha menata hatinya berulang kali. Raut gelisah terlihat jelas di wajahnya dan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Di TKP sudah terlihat beberapa orang polisi mengamankan kedua tersangka yang masih hidup dan sesosok jasad yang menggeletak tak berdaya itu. Beberapa polisi lain terlihat sedang mengorek keterangan dan menyusun kronologi kejadian. Kyai Tamim segera menghampiri jasad yang sudah tak bernyawa lagi setelah polisi memberinya izin untuk melewati garis batas polisi. Ditatapnya sosok itu. Berulangkali ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang dilihatnya tidak benar. Namun dilihat berapa kali pun tetap saja ia tak bisa memungkiri bahwa sosok itu benar-benar sudah mati. Dan sosok itu sangatlah dicintainya.Ia menghampiri tubuh itu, kemudian memeluknya. Tangisnya memecah memilukan warga yang masih berdiri di sekitar TKP. Pelan-pelan dipanggilnya beberapa kali nama orang yang sudah mati itu, berharap dia masih bisa mengucapkan sedikit salam perpisahan untuk yang terakhir kalinya, serta sedikit permintaan maaf. Maaf karena tidak bisa mengemban amanat yang telah diberikan Allah kepadanya. Maaf karena dirinya telah gagal mendidiknya. Gagal menjadi ayah bagi jasad itu. Buah hatinya sendiri. Anaknya yang telah terjerumus dalam pergaulan yang salah, dan Kyai Tamim berharap masih bisa membawanya kembali sebelum Allah menakdirkan lain. Namun, tetap saja jasad itu tak bergeming. La haula wala quwata illa billah…

25 Agustus 2004



Rahasia Sang Wali


Aku mengenal Hasbi sudah sejak kecil. Kami berdua adalah teman sepermainan sewaktu kecil. Baik aku maupun Hasbi sama-sama gemar main sepak bola. Apalagi ketika hujan turun dengan lebatnya. Kami malah tambah semangat bermain, meskipun nantinya kami akan kena marah ibu masing-masing karena noda Lumpur di baju yang tidak bisa hilang.

Kami berdua sama-sama anak sulung dalam keluarga kami masing-masing. Ibuku dan ibunya Hasbi juga bersahabat sejak kecil. Mereka berdua menikah dalam bulan yang bersamaan, ibuku menikah lebih cepat sepuluh hari dari ibunya Hasbi. Kata ibuku, Hasbi lahir satu hari setelah aku. Bidan dan dukun bayi yang mengurus kami berdua waktu kecil pun sama.

Kedua leluhur kami adalah penduduk asli di sini. Jalinan kekeluargaan kami sudah menjadi warisan turun temurun. Bahkan pamanku menikahi bibinya yang menjadi kembang di kampung kami. Aku sangat senang kalau main ke rumah bibinya dan bisa mencium tangan bibinya yang lembut dan harum itu. Kadang dia pun memberi aku sebuah kecupan di kening setelah aku mencium tangannya.

Dalam hal pendidikan kami pun punya banyak kesamaan. Kami berdua sama-sama ngaji Qur’an di rumah Ustadz Hilmi. Bedanya aku sedikit lebih rajin dari Hasbi. Masih terngiang dalam kepalaku bagaimana Ustadz Hilmi mengajari alif ba ta kepada kami berdua. Karena aku lebih rajin dari Hasbi, sehingga aku khatam lebih dulu dari Hasbi.

Ibuku dan ibunya Hasbi menginginkan kami tumbuh besar bersama seperti halnya mereka. Sejak kecil kami pun disekolahkan di tempat yang sama. Baru setelah lulus SMP aku dan Hasbi menjalani kehidupan masing-masing. Aku pergi nyantri ke sebuah pesantren di Jawa Timur dan Hasbi pergi entah kemana. Aku tidak tahu kemana perginya Hasbi, sebab aku lebih dulu pergi ke pesantren dan hanya menitipkan alamat pesantrenku padanya. Barangkali dia ingin berkunjung atau berkirim surat padaku. Dan nyatanya dia pernah berkirim surat, walaupun hanya satu kali. Dalam suratnya itu dia menulis bahwa dia sedang mempelajari ilmu kebatinan, tapi tidak menyebutkan pada siapa dia belajar dan dimana tempat dia belajar. Di amplop suratnya pun tidak ditulisi alamat pengirimnya. Yang ada hanya tulisan: “Dari: Sahabatmu-Muhammad Hasbi”. Jadi aku tidak bisa mengirim surat balasan untuknya. Toh demikian, aku senang dia masih ingat padaku. Aku hanya bisa berdoa semoga ilmu yang dipelajarinya mendatangkan manfaat buat dirinya dan juga masyarakat yang membutuhkannya.


Jalannya denyut waktu memang tak pernah bisa kita rasakan. Bumi terus berjalan mengitari matahari. Siang dan malam selalu bergantian selimut. Rasanya baru kemarin aku kemarin aku berhasil merebut bola dari kaki Hasbi dan melesakkannya ke gawang team Hasbi. Aku berlarian mengitari setengah lapangan dan diikuti teman-teman satu team yang beramai-ramai memelukku. Sementara Hasbi bersungut-sungut dan mengumpatiku. Ya, aku masih ingat betul sifatnya waktu kecil dulu, ambisius untuk menjadi yang terhebat. Hasbi akan sangat tidak senang kalau ada seseorang yang lebih hebat darinya. Ha… ha… ha… rasanya senang sekali bernostalgia tentang masa kecil antara aku dan Hasbi.

Kini aku dan Hasbi sudah membina keluarga masing-masing. Aku menikahi adik perempuannya Hasbi, sedang Hasbi menikahi gadis Sunda. Kami berdua sudah diberi amanat oleh Allah berupa anak. Hasbi tiga dan aku dua. Anak terakhir kami sama-sama laki-laki. Sedang kakaknya perempuan semua. Kedua anak laki-laki kami, kami kirim ke pesantren tempat aku menimba ilmu dulu. Harapan kami agar kedua anak kami dapat menjadi penerang bagi masyarakat di sekitar mereka nantinya.

Harus aku akui, peranan Hasbi dalam masyarakat sekarang ini memang lebih menonjol dari aku. Namanya pun lebih populer. Aku hanya menjadi guru ngaji biasa, meski kadang-kadang ada juga yang meminta aku untuk mengisi pengajian hingga ke luar kota. Sedangkan Hasbi selalu menjadi tumpuan masyarakat. Perangainya halus, tutur katanya sopan, dan apa yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Dia seperti mempunyai kekuatan kun fayakun (jadilah, maka jadi).

Aku sendiri sudah melihat kehebatannya dengan mata kepalaku sendiri. Waktu itu ada seorang anak di kampung kami yang hanyut terbawa arus sungai. Waktu itu benar-benar tak ada yang bisa menyelamatkan anak yang sudah dicengkeram arus yang begitu kuatnya itu. Kebetulan Hasbi lewat dekat sungai itu. Ketika dia mendengar teriakan anak itu dan melihatnya, secepat kilat dia langsung berlari di atas permukaan air menyelamatkan nyawa anak itu. Benar-benar berlari seperti di atas permukaan tanah saja!

Kejadian kedua yang aku lihat adalah ketika ada sebuah rumah kebakaran. Rumah itu dihuni oleh empat orang. Ketiga orang penghuninya sudah diselamatkan warga dari jilatan si jago merah. Tinggal satu orang, istri pemilik rumah, yang masih berada di dalam rumah tersebut. Dia terjebak api dan bangunan yang mulai runtuh. Hasbi yang sudah mendengar kejadian itu, datang ke tempat tersebut dan langsung menengadahkan kedua tangannya ke atas tinggi-tinggi, seperti orang berdoa. Ajaib, seketika turun hujan lebat yang langsung memadamkan api. Setelah api padam, Hasbi masuk ke dalam sisa-sisa bangunan dan mengeluarkan istri pemilik rumah. Namun malang, tubuh dan muka istri pemilik rumah sudah melepuh karena api. Tapi lagi-lagi Hasbi mengeluarkan Hasbi mengeluarkan keajaiban. Ditiupnya kedua tangannya dan diusapkannya pada sekujur tubuh dan muka yang telah rusak itu. Sekali lagi: ajaib! Semua luka bakar langsung hilang tanpa bekas. Masyarakat langsung menganggap kehebatan Hasbi itu sebagai karomah, kemampuan khusus yang hanya dimiliki oleh seorang Wali Allah, seperti halnya mukjizat yang dimiliki oleh para Nabi.

Siang itu, setelah selesai melaksanakan salat Dhuhur, aku dikejutkan suara salam dari arah pintu rumahku. Suara yang sudah lama kukenal. Suara Hasbi, ‘Sang Wali’. Segera kujawab salamnya dan kubukakan pintu untuknya. Hasbi, sosok yang diagung-agungkan oleh masyarakat kini berada di muka pintu rumahku. Aku mendekap dan memandangnya dengan penuh hormat. Dulu dia sahabat masa kecilku, sekarang dia menjadi orang yang paling kusegani di kampung ini. Tinggi badannya kira-kira hanya dua senti lebih tinggi dari aku. Rambutnya masih lebih hitam dan sedikit lebih lebat. Wajahnya masih menyimpan raut tampan sisa-sisa masa remajanya. Hanya saja sekarang dihiasi kumis dan jenggot yang membuatnya lebih berwibawa. Namun karena kelebihan yang dimilikinya itulah aku menjadi sungkan.

Selesai mendekapnya, kupersilahkan dia masuk ke dalam rumahku.

Alhamdulillah, gubuk kami disinggahi orang mulia seperti Mas,” sambutku padanya.

“Ah tidak usah begitu Mas Khoiri, saya dan sampeyan ini kan sahabat dari kecil,” jawab Hasbi merendah.

“Silahkan duduk, Mas,” ujarku pada Hasbi. Kemudian aku duduk setelah Hasbi duduk. Kutawarkan rokok kretek padanya, tapi katanya dia sudah berhenti merokok sejak usianya menginjak kepala empat.

“Mau minum apa, Mas?”

“Ah, tidak usah. Saya hanya mampir sebentar saja. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan sama sampeyan.

Hasbi terdiam sebentar. Ditatapnya mataku, mencari kepercayaan dan kesediaan dari dalam diriku.

“Begini Mas Khoiri, aku ingin menitipkan wasiat kepadamu,” kata Hasbi. Ucapan Hasbi barusan cukup mengagetkanku. Apa maksud Hasbi itu? Bukankah wasiat berarti wasiat yang harus dilakukan setelah orang yang memberi wasiat itu mati? Lagi pula wasiat biasanya disampaikan kepada anggota keluarga yang terdekat. Aku ini apanya Hasbi? Hanya sebatas teman masa kecilnya saja. Setelah dewasa dan menjadi saudara iparnya pun kami tidak cukup akrab. Dan bukankah Hasbi baru menginjak usia yang, kalau tidak salah, ke empat puluh sembilan? Tubuhnya pun masih segar bugar, sehat wal ‘afiat, tanpa kurang suatu apapun. Mengapa dia berujar demikian?

Aku menunggu perkataan selanjutnya dari Hasbi. Hasbi terdiam sebentar. Ditengokkannya kepalanya ke segala penjuru arah. Seperti meyakinkan kalau tidak ada orang lain lagi di ruangan ini. Yang akan diutarakannya kelihatannya hal yang sangat penting. Hasbi membungkuk dan mendekatkan kepalanya padaku. “Ada hal yang aku sembunyikan dari sampeyan maupun orang-orang di sini,” lanjut Hasbi lirih setengah berbisik.

“Apa itu, Mas?”

“Nanti kau akan tahu sendiri. Setelah aku meninggal nanti, tolong sampeyan buka karpet besar yang menutupi dinding ruangan tamu rumahku.”

“Kenapa?,” tanyaku masih belum mengerti.

“Itu juga nanti kau akan mengetahuinya. Sebab aku merasa bahwa kontrak hidupku di dunia sudah hampir selesai. Tolong hanya sampeyan dan kedua anak kita yang nyantri yang boleh membukanya.”

Aku mengangguk iya, namun masih belum mengerti omongan Hasbi.

“Mas, ada berita lelayu,” istriku datang menghampiriku dari luar rumah dengan kepala tertunduk dan mata yang berkaca-kaca. Aku menghentikan aktifitas siangku membaca koran pagi yang selalu datang hampir tengah hari dan memberikan perhatian pada istriku.

“Siapa, Bu?”

“Kakakku Hasbi, Mas. Barusan dia meninggal dunia.”

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Aku hampir tidak percaya dengan yang dikatakan istriku. Bukankah baru kemarin Hasbi singgah di rumahku? Betul, kemarin. Satu hari yang lalu. Keadaannya pun sangat baik. Dan perkataannya yang kemarin itu? Apakah itu firasat yang biasa timbul pada orang yang hampir mendekati kematian? Ataukah ia memang telah diberitahu Tuhan sebelumnya, bahwa ia akan meninggal hari ini? Ah… segalanya mungkin saja terjadi. Bukankah itu juga wewenang Allah. Ingin rasanya kutanya istriku sebab meninggalnya Hasbi, tapi kurasa itu tidak penting saat ini. Menenangkan istriku saat ini adalah hal yang lebih penting. “Sabar ya, Bu? Kita berdoa semoga kakakmu diterima di sisi-Nya.” Aku berdiri dan merangkul istriku. Tangisnya meledak di pelukanku. Didekapnya erat-erat tubuhku. Basah bajuku dibuatnya.

Setelah tangisnya agak reda, aku mengajaknya ke rumah Hasbi.

“Ayo Bu, kita segera mengurus jenazahnya.”

“Tidak perlu, Pak.”

“Lho kenapa?,” aku bertanya dengan penuh keheranan atas jawaban istriku tadi.

Lalu istriku menceritakan ihwal jenazah Hasbi. Katanya, setelah meninggal, jasadnya yang belum dimandikan, dikafani, serta di-shalat-kan itu melayang sendiri ke arah pemakaman umum belakang gedung Puskesmas. Banyak warga yang mengikuti jenazah terbang itu dari rumah Hasbi sampai ke pemakaman. Sesampainya di sana, tiba-tiba sebuah lubang tergali di tanah pemakaman yang masih kosong. Seolah-olah ada makhluk gaib yang menyediakannya untuk Hasbi. Lalu pelan-pelan jasadnya turun ke dalam lubang. Sesampainya jenazah di dasar, lubang tersebut langsung tertimbun tanah lagi. Tak hanya itu, sebuah batu nisan pun menancap di atas gundukan tanah itu. Setelah didekati, para warga membaca tulisan pada nisan itu, nama Hasbi beserta tanggal kelahiran dan kematiannya dalam huruf Arab. Tak ayal lagi, masyarakat yang melihat kejadian tersebut dengan mata kepala sendiri semakin percaya bahwa Hasbi, sahabat dan iparku itu, benar-benar seorang Wali Allah. Bermacam-macam pula tingkah laku para warga setelah kejadian itu. Ada yang langsung berdoa di atas kuburnya, menjadikan Hasbi sebagai wasilah (perantara) agar doanya terkabul, mencium batu nisannya, sampai mengambil segenggam tanah dari kuburnya berharap mendapat barakah darinya.

Setelah istriku bercerita, aku teringat wasiat yang Hasbi sampaikan kemarin. Aku segera pergi ke rumah Hasbi bersama istriku. Sesampainya di sana, aku terkejut melihat anakku dan anaknya Hasbi yang mondok di pesantren sudah ada di rumahnya.

“Kenapa kau pulang tidak memberitahu ayahmu, nak?,” tanyaku pada anakku.

“Maaf Abah, ananda mendadak pulang karena mengantar Hisyam yang diberi kabar bahwa Pak De Hasbi mungkin akan meninggal dunia,” jawab anakku sembari menjelaskan bahwa dia pun tak sempat menelepon karena ada gangguan telepon di daerah pesantrennya.

Setelah anakku bicara, aku menyampaikan rasa belasungkawa dan wasiat yang aku terima dari Hasbi kepada istri, anak perempuan Hasbi, dan anak laki-laki Hasbi, Hisyam. Dan Hisyam pun langsung melaksanakan wasiat itu. Bersama aku dan anakku, Hisyam melepas paku-paku yang mengaitkan karpet ke tembok.

Karpet merah besar bergambar Ka’bah yang dikelilingi kaligrafi dengan khot Khoufi dan ornament ala Timur Tengah yang menutupi sebagian dinding ruang tamu itu sudah terlepas. Kami bertiga sekarang memandang pada satu titik yang sama. Sebuah pintu kayu yang sudah agak lapuk tanpa cat dan tertutup debu tebal. Hisyam pun terlihat sedikit tertegun. Aku rasa dia belum pernah mengetahui keberadaan pintu itu. Dengan penuh tanda tanya dalam kepalanya, Hisyam pelan-pelan membuka pintu itu. Deritnya menandakan bahwa pintu itu sudah lama sekali tidak pernah dibuka. Mungkin belasan atau puluhan tahun.

Kami bertiga masuk ke dalam lorong pendek yang ada di balik pintu. Lorong yang gelap dan sengap. Di ujung lorong itu terdapat pintu kayu yang serupa dengan pintu sebelumnya. Kami bertiga saling berpandangan. Tanpa banyak berkata, Hisyam membuka lagi pintu kedua itu.

Astaghfirullah… kami bertiga sangat kaget dengan apa yang kami lihat. Hisyam langsung jatuh pingsan. Dia tak bisa menerima apa yang dilihatnya sekarang ini. Di balik pintu kedua ternyata ada toilet. Di dalam toilet terdapat kitab suci Al-Qur’an! Kitab suci orang Islam yang seharusnya ditempatkan di tempat yang mulia itu diletakkan dalam toilet dimana asma Allah dan Nabi-Nya saja tak boleh masuk ke dalamnya.

Apa yang kau pelajari dulu sewaktu aku nyantri, Hasbi? Bukankah ini cukup jelas untuk membuktikan bahwa kesaktian dan kewalianmu itu hanyalah omong belaka? Lalu siapa yang membantumu dan menguburkanmu kemudian? Apakah ternyata Hasbi, ‘Sang Wali’ itu, tak lebih dari sekedar pengikut setan?

Jogjakarta, Agustus 2004


Jadilah "Bangsa Semut!"


Tulisan ini saya buat empat tahun yang lalu dan memenangkan Lomba Penulisan Essay tingkat SLTA se-Jawa & Bali dalam rangka Hari Pers Nasional tahun 2003. Baru-baru ini saya mendengar dari teman saya, Irfan, bahwa ada yang nulis mirip dengan tulisan ini. Tapi, lanjut dia, tulisan itu baru di publish. Yang jelas, dulu saya terinspirasi dari film The Antz, dan bukunya Harun Yahya. Trus lanjut cari berbagai artikel dan lahirlah tulisan ini. Ini tulisan kedua saya yang saya kirim ke luar dan langsung jadi juara 3. Yang pertama berjudul Bebek, Gurem, dan Supernova juga menang di tingkat nasional.

Jadilah “Bangsa Semut”!


Di masa ini, setidaknya kita harus mau mengakui bahwa salah satu penyebab utama krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini adalah adanya sikap individual dari tiap-tiap komponen bangsa. Di setiap tingkatan sosial, baik itu rakyat jelata, buruh, pengusaha, sampai pejabat tinggi pemerintahan selalu ditemukan sikap individual yang membuat keutuhan Bangsa Indonesia semakin rentan. Sikap sikut menyikut, saling menjatuhkan kepentingan pribadi maupun golongan, serta berbagai perbuatan individualisme lainnya sudah menjadi menu utama di media massa kita. Bahkan sebuah media massa sebagai penyedia informasi yang punya pengaruh besar terhadap sikap masyarakat kita, masih sering menampakkan individualisme-nya melalui bias berita yang disajikan.

Mungkin kita sudah lupa tentang petuah orang tua-orang tua kita tentang sebatang lidi yang mudah dipatahkan, tapi akan menjadi kuat apabila beberapa lidi disatukan. Nasihat orang tua kita itu merupakan gambaran condition sin quanon (keharusan) untuk bersatu agar menjadi bangsa yang kuat. Dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa persatuan telah hadir menjadi pilihan yang pertama dan utama untuk mengatasi berbagai kemelut yang ada dalam bangsa ini.

Sejarah nasional bangsa kita sudah berulang kali mencatat bahwa perjuangan baru akan berhasil bila di dalamnya terdapat persatuan, kesatuan, serta pengorganisasian yang kuat, tidak bergantung pada jumlah yang banyak. Contoh yang sangat sederhana dari kekuatan persatuan dan pengorganisasian yang baik adalah kesuksesan Bangsa Jepang dan Belanda menjajah bumi pertiwi selama bertahun-tahun, padahal jumlah mereka jauh lebih sedikit daripada kita. Dalam hal ini, sebuah pepatah Arab mengatakan, “Al-katsiiru bi ghairi nidzaamin, yaghlibuhu al-qaliilu bi an-nidzaami” (jumlah yang banyak tetapi tanpa aturan, akan dikalahkan mereka yang sedikit tapi teratur). Senada dengan pepatah tersebut, Sun Tzu dalam “Art of War”-nya menyatakan, “Kekuatan suatu tentara tidak tergantung dari pasukan yang besar. Jangan maju hanya karena pasukan yang besar saja”.

“Jika ada propaganda, bikin dong propaganda yang lebih canggih!”, pernyataan KH. Abdurrahman Wahid ini menjadi inspirasi saya dalam membantu menemukan salah satu solusi untuk menyatukan bangsa. Jika dahulu Bung Karno pernah menyerukan, “Jadilah ‘Bangsa Tempe’!” , kepada bangsa ini untuk membangun bangsa yang kuat, maka dalam kaitannya dengan hal ini saya ingin menandinginya dengan seruan: “Jadilah ‘Bangsa Semut’!”. Pengubahan kata ‘tempe’ menjadi ‘semut’ yang saya lakukan tentu memiliki cukup alasan, bukti, dan kajian. Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa serangga yang namanya diabadikan sebagai nama salah satu surat dalam kitab suci umat Islam (surat An-Naml) ini, adalah bahwa semut merupakan makhluk paling sosioekonomis dengan “peradaban” yang sangat maju. Di samping itu, keberadaan semut ini sendiri sering dianggap remeh oleh manusia. Padahal hewan yang sekali injak langsung mati ini, merupakan populasi tertinggi di dunia (dengan rasio setiap 700 juta semut yang muncul ke dunia ini, hanya terdapat 40 kelahiran manusia). Dan fakta yang lebih menakjubkan bagi bangsa ini adalah: dalam banyak hal kita telah dikalahkan semut!

Civil Society ala Semut

Selama berabad-abad, pengertian tentang civil society terus berkembang. Secara tradisional, hingga abad XVIII Masehi, pengertian ini hanya terbatas pada bentukan kata-kata Yunani “koinomia politike” atau bahasa Romawi “societas civilis” yang berarti masyarakat politik. Kemudian pada abad ini timbul pemikiran-pemikiran sosial dari Inggris, yang terhimpun dalam tulisan-tulisan John Locke, Tom Paine, Adam Smith, dan Adam Ferguson, yang pada dasarnya bisa diambil kesimpulan bahwa civil society adalah suatu konsep masyarakat yang terpisah dari negara, yang memiliki bentuk dan prinsip sederhana. Sedangkan Hegel, dalam “Philosophy of Right” mengartikannya sebagai wadah kehidupan etis, yang terletak diantara kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, dimana faktor-faktor di dalamnya sangat ditentukan oleh permainan ekonomi dan jati diri individual. Pendapat yang paling akhir dari pengertian civil society ini dilontarkan oleh Antonio Gramsci dalam karyanya “Prison Notebooks” (1971), yang menganggap bahwa civil society sebagai bagian dari negara yang terlepas dari pemaksaan ataupun aturan-aturan formal, meski tetap mengandung unsure rekayasa, seperti lazimnya institusi politik.

Menyusul kemudian, untuk membedakan diri dari pemikiran Barat dan memberi contoh yang lebih konkrit, kalangan modernis Islam mengambil model masyarakat civil society dari kehidupan masyarakat Madinah zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Model masyarakat inilah yang kemudian disebut sebagai model masyarakat madani, yaitu masyarakat berperadaban (madaniyah) karena tunduk dan patuh (daana-yadiinu) pada ajaran kepatuhan (diin) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Masyarakat ini, menurut Robert N. Bellah, merupakan tatanan sosial politik yang sangat modern. Segi-segi modernitas yang dimaksud ialah adanya tingkat yang tinggi dalam komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari seluruh anggota masyarakat, keterbukaan posisi kepemimpinan terhadap ukuran kecakapan pribadi, yang dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal, dan dilambangkan dalam percobaan untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang tidak bersifat keturunan. (Nurcholis Madjid, Pluralisme: Teladan dalam Piagam Madinah).

Namun jauh sebelum itu, jutaan tahun sebelum teori-teori tentang civil society dan masyarakat madani muncul, Sang Pencipta Semesta telah menciptakan sebuah model alam yang akan menjadi sebuah contoh dan pelajaran yang berharga bagi umat manusia: semut! Dan ini terbukti bahwa semut-semut selama jutaan tahun telah menjalani sistem social yang ideal dan bertentangan dengan tatanan masyarakat manusia yang didasarkan pada persaingan dan kepentingan individu.

Serangga yang jumlah spesies-nya mencapai angka 14.000-an ini mengajarkan kepada kita memahami perbedaan sebagai nilai positif, rahmat Tuhan. Yang menarik dari kehidupan semut adalah cara hidupnya dengan berkoloni, dimana dalam koloni tersebut terdapat pembagian kasta yang masing-masing mempunyai fungsi untuk mendukung kelangsungan hidup koloninya. Sistem kasta ini terbagi atas tiga bagian besar. Dan yang lebih mengherankan adalah setiap anggota koloni semut, tanpa terkecuali, tunduk pada sistem ini. Di dalam tiga bagian besar kasta yang terdiri dari ratu dan semut-semut jantan, prajurit, dan pekerja ini tidak ditemukan adanya ranta komando antara yang satu dengan yang lainnya. Tugas-tugas terumit dalam masyarakat ini terlaksana karena adanya organisasi diri yang sangat canggih.

Di samping organisasi diri, dalam hal pengorbanan semut benar-benar mampu menunjukkan pengorbanan tingkat tinggi. Setiap semut menjalankan tugas sesuai kedudukan masing-masing tanpa merasa iri dengan tugas yang dilakukan semut dalam kasta yang berbeda. Semut juga mampu memberi segala miliknya, dari makanan hingga nyawa tanpa merasa ragu, agar semut lain tetap hidup. Seperti pengorbanan yang dilakukan oleh semut-semut pejantan yang rela mengikuti upacara perkawinan, yang identik dengan ritual kematiannya. Atau juga seperti yang dicontohkan oleh semut pekerja dari spesies Camponotous, yang mau mengorbankan dirinya dengan melakukan tehnik kamikaze untuk melindungi koloninya. Sementara itu, ketika para semut telah melaksanakan model kehidupan masyarakat madani, manusia masih belum bisa menyelesaikan berbagai masalahnya karena kurangnya pengorbanan diri dan kesadaran diri akan kepentingan bersama, seolah-olah yang terbersit dalam pikirannya adalah: “Hanya aku!”.

Ah, seandainya semut-semut itu hadir dan mengikuti Dialog Nasional “Bersatulah Bangsaku” dalam memperingati Hari Pers Nasional tahun 2003 kemarin, pastilah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan petuah, “Perbedaan justru jadi kekuatan,” mereka akan bersuara lantang, “Kami sudah mencontohkannya, Pak!”.

Komunikasi dan Tehnologi

“Perkembangan geopolitik internasional tidak lagi sebatas pendekatan ideologis, tapi sudah berkembang menjadi pendekatan informasi dan penetrasi pasar,” demikian Sri Sultan menegaskan pentingnya informasi dan komunikasi dalam sebuah bangsa. Dan semut sebagai makhluk social pun telah “memahami” arti penting informasi dan komunikasi antar sesama. Dari menemukan mangsa, bertarung, membangun sarang, hingga gerakan saling mengikuti, hewan arthropoda ini banyak menggunakan isyarat kimiawi sebagai alat komunikasi. Dengan men-sekresi-kan sejumlah senyawa semiokemikal berupa feromon dari tubuhnya, semut bisa memberikan beberapa isyarat yang berbeda kepada sesamanya. Di samping menggunakan senyawa kimia tadi, semut masih menggunakan beberapa cara komunikasi lain yang bisa menyelesaikan masalah-masalah, yang terkadang tidak bisa diselesaikan oleh cara komunikasi manusia sekalipun. Semisal senyawa hidrokarbon sebagai “kartu identitas” koloni, atau juga “berjabatan” antenna sebagai sapaan dan ajakan masuk sarang. Tanpa komunikasi ini semut mustahil bisa hidup, karena semut adalah makhluk sosial yang hidup berdasarkan berita timbal balik dari teman satu koloninya.

Di samping kecanggihan komunikasi, semut juga dianugerahi kecanggihan dalam bidang tehnologi arsitektur dan pertanian. Contoh dari ketinggian tehnologi arsitekturnya semut terdapat pada seni pembuatan sarangnya. Bangsa manusia untuk meniru pembuatan bangunan model sarang semut ini, cukup memakan sebagian besar usia manusia untuk menghimpun informasinya saja. Sebab dalam sarang ini terdapat pola keruangan yang terdiri dari banyak labirin ruang-ruang, dimana di dalamnya termasuk petak-petak perkebunan jamur, gudang makanan, pembuangan limbah, saluran sirkulasi udara, dan gua-gua dengan terowongan yang membentuk jalan sabuk sekitar 7,5 meter dari sarang. Dengan terowongan-terowongan ini beberapa “markas” semut bisa terhubung menjadi semacam kota metropolis bawah tanah.

Belum cukup kita dibuat terkagum-kagum dengan tingginya ilmu kimia, arsitek, dan pertanian semut, binatang dengan setengah juta sel syaraf dalam 2-3 milimeter tubuhnya ini juga memiliki kecanggihan biologis dalam tubuhnya. Contoh yang paling mudah dalam semua koloni semut adalah kecanggihan alat perkembangbiakan yang dimiliki setiap ratu semut. Meski setiap pejantan akan mati beberapa jam hingga beberapa hari setelah perkawinan, namun ratu semut bisa membuahkan keturunan dari sperma sang pejantan tadi walaupun telah mati bertahun-tahun. Padahal normalnya sperma makhluk hidup lainnya akan mati beberapa saat jika tidak segera bertemu dengan sel telur.

Dari fenomena inilah para ahli entimologi dan ilmuwan lainnya baru mulai memikirkan bank sperma manusia lima puluh tahun yang lalu. Padahal sejak zaman prasejarah, setiap ratu semut memiliki “bank sperma” yang berupa kantong oval bernama spermatheca. Dalam spermatheca inilah sperma semut pejantan dinonaktifkan secara fisiologis selama bertahun-tahun, dan kelak sang ratu akan mengeluarkan ke saluran reproduksinya.

Berbagai kehebatan semut yang terangkum dalam “The Miracle in The Ant”-nya Harun Yahya, menimbulkan berbagai pemikiran hebat tentang konsep tekhologi masa depan manusia. Meskipun secara individual semut tidak secanggih manusia, karena mereka hanya diberi kemampuan untuk melakukan sesuatu yang sederhana, namun kekalahan semut ini akan tertutupi jika mereka bekerja sama. Hidup dan kerja sama dalam koloni semut rupanya juga telah mempengaruhi NASA! Rencananya, organisasi ini akan mengirimkan banyak “robot semut” ke planet Mars daripada mengirimkan satu robot canggih. Jadi, meski sebagian robot rusak, robot lain yang tersisa akan mampu merampungkan tugas mereka.

Masya Allah… ternyata teknologi manusia tidak lebih dari sekedar teknologi semut!

Tehnik Bertahan

Jauh sebelum Harun Yahya muncul dan terkenal dengan menentang mentah-mentah teori yang menyatakan bahwa makhluk hidup yang dapat bertahan di alam adalah berkat kemampuan inidividu makhluk itu sendiri, sebenarnya nenek moyang kita pun sudah menyadarinya lewat hidup dengan bekerja sama dan berkoloni. Meski mereka tidak tahu tentang teori seleksi alam Charles Darwin, namun pada prinsipnya mereka juga mampu membuktikan bahwa teori itu salah. Seolah-olah mereka mengetahui bahwa para evolusionis hanya ingin mengesahkan keegoisan mereka sendiri dan menimpakan keegoisan ini ke seluruh alam. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam bentuk gotong royong di berbagai pelosok nusantara, juga lewat semboyan nenek moyang kita yang kini menjadi salah satu syair “lagu garingan” anak muda: “Makan nggak makan asal kumpul!”.

Demikian pula semut, mereka juga mampu bertahan dari berbagai ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya dengan cara bekerja sama. Dalam bertahan ini, semut mempunyai berbagai tehnik dan “siasat perang”. Mulai dari spesies yang bernama Basiceros yang merupakan “ahli kamuflase” dengan menentukan karakter fisiologisnya sendiri untuk bertahan, hingga Componotous yang rela meledakkan tubuhnya sendiri demi menyelematkan teman satu koloninya. Mulai dari “tehnik sensus” untuk mengukur kekuatan musuh, hingga “tehnik blockade” untuk memastikan kemenangannya. Seolah-olah semut ini memahami berbagai kaidah penilaian medan, kepemimpinan, dan keunggulan strategis lawan yang disampaikan oleh Sun-Tzu.

Semut-semut ini juga mengenal tehnik diplomasi untuk tetap bisa survive. Seperti layaknya hewan yang lain, mereka juga melakukan simbiosis untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Mulai dari pohon akasia, hingga serangga daun menjadi model pembelajaran kita dalam memahami bagaimana sebuah kerja sama dapat menjadi keunggulan suatu bangsa. Yang pasti, semut-semut ini telah begitu banyak mengajarkan kepada kita, bagaimana sebuah bangsa yang yang terdiri dari elemen-elemen yang hanya melakukan tugas sederhana namun mampu menjadi bangsa yang kokoh. Bahkan jika konsep hidup ala semut ini diterapkan di Indonesia, mungkin akan segera menghapus stereotip “Orang Jepang berkeringat karena mereka berpikir, orang Amerika berkeringat karena mereka bekerja keras, dan orang Indonesia berkeringat karena selesai makan!”.

Menarik! Semut yang tidak pernah mengikuti mata kuliah sosial-politik, arsitektur, kimia, biologi, dan pertanian ini mampu menjadi nasehat alamiah kepada bangsa Indonesia untuk segera bersatu dan merapatkan barisan kembali. Asal saja sambutan khas Indonesia tidak didengungkan untuk menanggapi kajian ini. “Yang baik kita terima, dan yang kurang baik atau kurang sesuai kita pertimbangkan masak-masak lebih dahulu.”



Belajar dari Ayah


Sudah hampir empat tahun ini saya mengalami stagnansi dalam berkarya. Boleh dibilang dalam kurun empat waktu itu saya sedang hibernasi. Agak sedikit sulit untuk memulai lagi, terutama kemampuan analisis dan daya kritis yang sudah agak tumpul, tergantikan dengan sekumpulan sintaks-sintaks bahasa pemrograman komputer yang saya pelajari. Ya, saya sekarang hampir menyelesaikan pendidikan saya di S1 Tehnik Informatika. Mungkin saya ini salah satu ‘generalis’ produk pendidikan Indonesia: tahu banyak hal tapi nggak tahu bidangnya sendiri.

Keinginan untuk menulis dan berkarya lagi sebenarnya sudah muncul setengah tahun yang lalu. Waktu itu, teman-teman alumni PP Krapyak dari COST53 menginginkan sebuah wadah kreatifitas dan komunikasi. Saya usulkan sebuah portal web. Saya sempat pesan jasa hosting dan beli domain, rencananya akan dilaunching dalam suatu event besar bernama “Pekan Raya Pesantren 2006”. Tapi apa boleh buat, bencana alam gempa bumi melanda Yogyakarta tercinta dan otomatis rencana yang sudah digarap selama berbulan-bulan tadi gagal.

Singkat cerita, tiba-tiba saja saya merasa ingin menulis blog ini karena melihat teman-teman saya yang sudah pada rajin nge-blog sendiri-sendiri. Saya pun merasa iri, yah… sebagian dari diri saya juga merasa tersaingi, he…. Terus saya menjadi bingung sendiri lagi, kira-kira kalau saya nge-blog akan nulis apa? Tutorial komputer? Essay? Puisi? Artikel? Karya Tulis? Atau malah skripsi? He… Nggak tahu deh, tapi kayaknya dicampur-campur biasanya malah jadi enak, kayak minuman kesukaan saya: milk shake atawa soda gembira. Wekekeke…

Ok. Bismillahirrahmanirrahim… Kayaknya hal yang pertama ingin saya tulis mungkin cerita tentang ayah saya sendiri. Nggak tahu juga, tiba-tiba hal yang melintas pertama kali di pikiran saya adalah ayah saya. Saya biasa bercerita dengan teman yang lagi butuh pandangan, saran, dsj (ngerti? dsj à dan sejenisnya) tentang kisah ayah saya. Terutama bagian semangat entrepreneurship dan dimensi kehidupan beliau –yang menurut saya cukup seimbang antara duniawi dan ukhrawi. Terus terang, bagi saya beliau adalah pribadi yang mengesankan, meskipun kadang kami sering berselisih, karena beberapa perbedaan. Namun, sebagai seorang anak, saya sangat bersyukur mempunyai ayah seperti beliau. Versi cerita ini mungkin agak sedikit bias, namun saya sudah berusaha sebisa mungkin mendengarkan berbagai cerita dari berbagai pihak tentang ayah saya sendiri.


Tak kenal, maka tak bisa dipanggil… Nama ayah saya Soleh Basuki Siswoyo. Siswoyo sendiri merupakan nama Simbah saya. Ayah saya lahir tahun 1960 di sebuah desa di Kabupaten Brebes, tepatnya bernama Jatibarang (bukan yang di Indramayu). Beliau anak laki-laki kedua dari 11 bersaudara. Simbah saya waktu itu merupakan salah satu pegawai di pabrik gula (PG Jatibarang). Sejak kecil, ayah memang sedikit berbeda dari yang lain, terutama sifat rajin dan suka mengajinya. Mulai dari bangun tidur, selesai shalat subuh dan ngaji, beliau sudah langsung bersih-bersih rumah dan memberi makan hewan-hewan piaraan. Kemudiaan baru berangkat ke madrasah. Pilihan sekolah-nya pun beda dengan dengan saudara/i ayah yang lain, yang lebih memilih ke sekolah umum. Namun, meskipun di madrasah, toh akhirnya beliau mampu bersaing dan berprestasi di STM Pembangunan Semarang. Banyak cerita menarik dalam rentang waktu itu. Mulai dari hobinya yang suka hiking, teman-temannya yang konyol (alhamdulillah, saya kenal baik beberapa diantaranya). Cerita yang paling menarik buat saya sewaktu beliau di STM ini, adalah pernah dipilih sebagai ketua RT oleh penduduk setempat. Padahal status beliau cuma anak kos/pendatang. Bisa kebayang gak? Berarti leadership beliau waktu itu sudah diakui oleh lingkungan sekitarnya.

Lulus STM beliau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, sempat daftar-daftar kerja, namun mungkin kurang ‘sreg’ dan akhirnya memutuskan back to home. Di kampung halaman beliau mulai merintis usaha bengkel & cuci mobil. Bengkelnya dibuka di depan halaman rumah simbah saya. Menurut beliau, bengkelnya adalah yang pertama di sana. Dengan ketekunan, komunikasi yang baik dengan pelanggan, usaha bengkel tadi pun maju. Sekitar tahun 1984-an, beliau sudah mempunyai anak buah 18 orang dan memperoleh pendapatan Rp 250.000,-/hari. Jumlah yang sangat besar waktu itu.

Singkat cerita, tahun 1985, ayah menikahi ibu saya, yang baru saja bertemu waktu pulang dari pengajian di masjid kampung dan langsung dilamar keesokannya setelah konsultasi dengan kyai dan disuruh untuk membuka Al-Qur’an dan jika mendapatkan surat yang baik (yang berisi berita gembira), maka ayah boleh menikahi ibu, jika tidak maka mungkin bukan jodoh yang baik. Alhamdulillah ayah dapat surat yang baik (saya lupa persisnya). Hal seperti ini mungkin sudah langka sekarang ini, tapi itulah ayah saya. Prinsipnya terhadap kyai/ulama adalah sami’na wa atho’na (saya dengar, dan saya taat).

Prinsipnya iu juga diuji lagi setelah beliau menikah. Ayah dipanggil oleh simbah. Simbah membuat keputusan yang agak sulit diterima. Usaha bengkel yang telah dirintis ayah harus diserahkan kepada kakaknya (pakde saya), dan ayah menggantikan pekerjaan pakde di Pabrik Gula dengan penghasilan Rp 25.000/bulan. Jumlah yang sangat berbeda dengan pendapatan per hari dari bengkel sekalipun. Tapi, lagi-lagi ayah membuat keputusan yang sampai sekarang masih tidak bisa diterima akal saya. Beliau menerima perintah simbah.

Hasilnya sudah bisa diduga, ekonomi keluarga ayah saya pun mulai jatuh. Sampai-sampai di hari raya lebaran tahun berikutnya, ayah harus ngutang sama simbah. Sampai suatu saat, ada kasus kebakaran di pabrik gula. Banyak wartawan yang berdatangan mencari informasi. Bukannya atasan ayah saya yang dicari sebagai yang berwenang, tapi malah ayah saya sendiri yang dicari. Mungkin karena posisi beliau waktu itu, yang menjadi tokoh pemuda dan pengurus masjid di kampung.

Merasa tidak enak dengan atasan dan rekan kerja, ayah saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Ayah saya menjadi seorang pengangguran. Hingga suatu hari, ketika ayah sedang jalan-jalan ke tambak, beliau melihat ada orang yang kesusahan dengan genset (generator set). Beliau menghampiri orang tersebut dan menawarkan bantuan. Tanpa kesusahan, ayah berhasil membetulkan genset tadi. Orang yang ditolong pun mengulurkan sejumlah uang ke ayah saya. Namun, biarpun dalam kondisi kere, ayah saya tetap menolak uang itu dan mengatakan bahwa yang ayah saya janjikan adalah hanya memberikan pertolongan dan tidak meminta imbalan. Merasa tidak enak hati, orang tadi pun minta alamat ayah saya.

Keesokan harinya orang itu pun datang dan mengenalkan diri. Namanya Pak Petrus (cerita hidupnya pun banyak yang patut ditiru, mungkin kalau anda bertemu saya langsung akan saya ceritakan). Beliau seorang warga keturunan Cina yang tinggal di Kota Tegal dan mempunyai beberapa bidang usaha. Dari perbincangan hari itu, ayah saya pun mendapat pekerjaan baru. Dari asuransi, tambak, hingga menjadi tangan kanan Pak Petrus dan dipercaya menjalankan dealer motor. Diantara masa-masa itu juga, sebenarnya ada pelajaran yang bisa banyak kita ambil. Salah satunya adalah ketika beliau konsultasi lagi dengan seorang ustadz, bagaimana agar cobaan bisa berkurang dan kembali memperoleh kejayaan. Ustadz tersebut menyarankan agar ayah saya itba’ kepada hijrah Nabi Muhammad SAW. Maka kami sekeluarga pun pindah ke luar kota. Setelah mencari kesana-kemari dipilihlah sebuah rumah di Kota Tegal untuk kami kontrak. Waktu itu usia saya sekitar lima tahun, dan langsung masuk Sekolah Dasar.

Kondisi warga di lingkungan tempat tinggal kami yang baru memang cukup bersahabat, namun ayah saya menemukan kenyataan ironis dengan musholla dekat tempat tinggal kami. Mau dibilang terurus, namun imam sholat rawatib pun masih belum tetap. Ayah yang sudah terbiasa rutin shalat di masjid pun perlahan masuk menjadi bagian dari mushalla tersebut. Alhamdulillah sampai hari ini, saya menyaksikan bahwa musholla tersebut merupakan salah satu musholla terbaik dari sisi kegiatan dan kekeluargaan antar jamaah yang pernah saya lihat.

Ketika ekonomi keluarga berangsur pulih dan kehidupan kami membaik. Cobaan pun datang lagi. Usaha Pak Petrus collapse. Berhektar-hektar tambak yang dia beli, yang diperkirakan akan menghasilkan berton-ton hasil tambak, ternyata gagal. Seluruh kekayaan yang dimiliki Pak Petrus pun digunakan untuk menutup kerugian tersebut. Sekitar sembilan mobil truk, sejumlah kendaraan pribadi, hingga rumah yang dia tinggali pun dilepas. Sampai-samapai rumahnya itu harus dia sewa untuk dia huni lagi. Dan ayah saya pun mau tidak mau terkena imbasnya.

Alhamdulillah, keadaan ini pun tidak berlangsung lama. Ketika dalam sebuah perjalanan ke rumah simbah, ada seseorang yang mengalami kesusahan dengan motor vespanya. Ayah saya pun menolong memperbaiki motor tersebut. Setelah berhasil diperbaiki, orang tersebut mengenalkan diri sebagai Pak Tomo dan menawarkan untuk singgah ke rumahnya. Pak Tomo waktu itu seorang pegawai di Pemda Kabupaten Brebes. Dari situlah ayah mendapat kesempatan untuk mencari rizqi lagi.

Kalau tidak salah, pekerjaan pertamanya adalah membetulkan sound system di lingkungan kantor Pemda. Tahun demi tahun berlalu, usaha ayah pun mulai maju lagi. Sekitar tahun 1998, saat resesi/krisis moneter menimpa Indonesia dan hampir seluruh dunia, kehidupan kami pun boleh dibilang stabil. Setelah itu, ayah malah dapat proyek besar. Hasilnya bisa anda lihat ketika anda melewati jalanan di Kabupaten Brebes. Ya, ayah saya mengerjakan proyek pemasangan Penerangan Jalan Umum. Lampu yang beliau pasang, termasuk lampu berwarna kuning yang pertama kali di sekitar karasidenan Pekalongan. Dari hasil proyek itulah, ayah bisa membeli rumah dan mobil kembali.

Tidak hentinya saya mengucap syukur alhamdulillah, sampai tahun 2007 ini keluarga kami diberi berbagai kemudahan, terutama dalam rizqi. Hal-hal lain yang bisa diambil hikmahnya dari ayah adalah sikap istiqomahnya dalam beribadah. Ayah saya selalu menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah antara maghrib sampai isya’. Bahkan akan menolak seluruh transaksi bisnis yang masuk waktu tersebut. Karena ayah saya yakin bahwa waktu tersebut merupakan waktu yang sangat berharga dan mustajab.

Entah anda percaya atau tidak, tapi saya percaya bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, pengusaha, atau profesi terhormat apapun, mesti harus diimbangi dengan dimensi spiritual atau sebuah keyakinan yang pasti. Saya tidak bisa menceritakan terlalu panjang dan memberikan ulasan yang banyak dalam kisah yang serba disingkat ini. Tapi semoga bisa diambil pelajaran dari apa yang saya tulis disini.